Djalaluddin Tantu, Penerbang Patriotik di Zaman Pergolakan

Oleh: Basri Amin

 

Di kesunyian malam. Ramadan di bulan Mei. Tahun 1958. Operasi “Sapta Marga II” dilancarkan . Telah mendarat silent landing Mayor Agus Pramono dari pasukan Batalyon 512 Brawijaya di daratan “Bilalangan”, 15 mil Timur Gorontalo. Peristiwa ini tercatat pada 16 Mei 1958, ketika operasi militer “penumpasan Permesta” di Gorontalo (mulai) dilancarkan oleh kekuatan (angkatan perang) nasional. Mereka dijemput oleh “pasukan Nani Wartabone”.

Di kawasan Telaga telah terjadi pertempuran sengit. Senjata-senjata berat saling bertarung, mortir dan senapan ringan saling menerkam. Termasuk miltralyur 12,7. Ketika itu, kota Gorontalo yang tengah diduduki tentara Permesta diserang oleh ‘pasukan Republik’ dari arah Timur dan pesisir Selatan. Pelan-pelan mereka berhasil memasuki Botupingge, berlanjut memasuki Talumolo. Dukungan serangan tembakan dari bukit Dembe (Tibdy, 1959).

Meski demikian, membutuhkan waktu dua hari untuk sepenuhnya “merebut” Kota Gorontalo, bermula dari pendudukan “markas musuh” di jalan Merdeka, 18 Mei 1958. Dua hari setelahnya, serangan balik Permesta yang lumayan dahsyat dilancarkan. Pasukan Republik membutuhkan waktu empat jam untuk mengendalikan situasi. Korban lumayan banyak! Ketika itu Gorontalo dipertahankan oleh Permesta dengan pasukan dua batalyon. Di hari-hari itu, pesawat B-26 milik Permesta nyaris setiap hari membom lokasi-lokasi penting di Balikpapan, Makassar, Kendari dan Ambon.

Sejak awal tahun 1958, suasana Sulawesi sangat tidak stabil. Gerakan Permesta tidak main-main. Di luar soal perdebatan politik di masa itu, relasi Pusat-Daerah, perebutan ekonomi Kopra, friksi di kalangan Angkatan Darat, ideologi NKRI, ternyata kondisi di tingkat lokal –termasuk Gorontalo— sangatlah tidak stabil. Adalah KSAD, Jenderal A.H. Nasution yang berhasil mencatat peristiwa-peristiwa penting/genting tersebut di atas.

Satu di antara data penting yang diuraikan A.H. Nasution (1984/1985) adalah pengakuannya tentang Penerbang AURI (pemberani) dari Gorontalo: Djalaluddin Tantu (1934-1964). Di masa yang berat tahun 1957-1958, Djalaluddin adalah penerbang andalan yang mampu menerbangkan pesawat Dakota, DC-3, di malam hari dari Jawa ke Sulawesi, termasuk Makassar dan Gorontalo. Banyak penerbangan “rahasia” (di malam hari) yang dilakoni Djaluddin di masa itu, antara lain ketika ia men-drop senjata dan amunisi untuk pejuang- pemuda di masa itu di daerah-daerah.

Jenderal A.H. Nasution berkata: “saya kenal baik (Djaluluddin) secara pribadi karena ia sering menerbangkan rombongan saya dengan Dakota dan Illyushin…” (Nasution, 1984).

Pada periode 1950-1960an, tercatat beberapa daerah operasi Angkatan Perang yang digerakkan oleh AURI. Disebutkan sebagai Gerakan Operasi Militer (GOM). Khusus untuk operasi di wilayah Sulawesi bagian Utara, pangkalan udara yang selalu disiapkan adalah Pangkalan Udara Gorontalo dan Mandai di Sulawesi Selatan. Kedua pangkalan ini berperan menyediakan bantuan udara, dalam bentuk pengintaian, pengangkutan pasukan, dan serangan udara insidentil. Jenis pesawat yang dipakai adalah pesawat angkut C-47 Dakota, amfibi PBY-5A Catalina, Pembom B-25 Mitchell, dan Pemburu P-51 Mustang. Ditulis oleh Hendrayana & Niode (2009), dalam Ekspedisi Geografi Indonesia – Gorontalo 2009, bahwa pada tahun 1957 Djalaluddin Tantu tercatat pernah mengirimkan dan menurunkan senjata di lapangan WSG —‘pacuan kuda’ dalam Bahasa Belanda–. Letaknya adalah di Stadion/GOR Nani Wartabone/Taman Kota saat ini.

Nama besar Djaluddin Tantu dicatat dengan indah dalam sejarah Angkatan Udara Republik Indonesia. Berdasarkan Perintah Operasi “Garuda/Merah Putih” No. 02/PO/5/52, maka pada pukul 02.00 pagi, 15 Mei 1962, tiga gelombang penerbangan AURI menuju Sorong dan Kaimana, dengan komposisi Dakota C-47, tiga buah peswat B-25 dan Catalina. Sementara dua pesawat P-51 Mustang ke jalur Fak-Fak. Mereka melakukan operasi udara dalam rangka “pembebasan Irian Barat” (Trikora). Mereka menerjungkan sejumlah Pasukan Payung di Sorong dan Kaimana.

Tibalah cobaan berat bagi Djaluddin Tantu dan kawan-kawan pada operasi udara tanggal 17 Mei 1962. Sekembalinya di pangkalan utama, rupanya pesawat (pemburu) musuh mampu mengintai pergerakannya. Pesawat Belanda berjenis Lockhead P2V 7 “Neptune” menyergap mereka. Tapi, kemampuan zig-zag dan penerbangan rendah oleh penerbang Djaluddin lumayan mumpuni, apalagi karena pesawat Dakota-nya tidak bisa menembak. Tapi, sergapan “Neptune” musuh yang ketat bisa dihadapinya. Tembak-menembak lumayan sengit, dilakoni oleh pesawat (pelindung) B-25 AURI (rombongan Kaimana). Peristiwa 17 Mei 1962 dicatat dan diakui-bangga dalam dokumen C-5 Sejarah Perkembangan Angkatan Udara (Dephankam, 1971). Djalaluddin Tantu, dkk disebutkan sebagai “penerbang yang berani, tangkas dan cekatan…”.

Dalam situasi yang gawat seperti itu, ketangkasan Djalaluddin Tantu, dkk memang dalam ujian berat. Nyawa adalah pertaruhan. Pesawat Dakota C-47 dengan nomor register T-440 mendapat serangan hebat dari pesawat Pemburu berjenis “Firefly”. Sang Pilot yang pemberani, Kapten Udara Djalaluddin, ternyata menerima kerusakan yang serius di atas udara. Rupanya, motor dan ekor pesawatnya terkena tembakan. Meski demikian, ia lumayan tangkas dengan pilihannya mendarat darurat di laut. Ia melakukannya dengan sangat baik. Semua crew bisa keluar pesawat dengan selamat menggunakan perahu karet, sebelum pesawatnya T-440 tenggelam di dasar laut. Kejadiannya di siang-tengah-hari. Sayangnya, pertolongan tidak ada dan Kapten Djaluluddin dan kawan-kawannya ditemukan oleh kapal destroyer musuh. Mereka ditawan dan nanti dilepaskan setelah “pengakuan New York” tentang status Irian Barat (15 Agustus 1962).

Riset Sunardi Pandjaitan, dkk (2017) menggambarkan Djalaluddin Tantu lahir di Gorontalo 27 Mei 1934. Orang tuanya adalah Bagus M. Tantu dan Halimah. Menikah dengan Ellen Taha dan beroleh tiga putra. Masa remajanya di Gorontalo, 1941-1950. Selanjutnya ia menempuh pendidikan menengah di Surabaya dan kemudian berhasil lulus masuk pendidikan AURI dan mulai beroleh pangkat penerbang udara sejak 1954. Kariernya membanggakan. Terlibat dalam penumpasan Permesta (1958-1960), Pembebasan Irian Barat (Trikora) dan berjuang di masa Dwikora (Konfrontasi Indonesia-Malaysia, Mei 1964).

Republik ini, NKRI, telah memberinya sejumlah Lencana dan Bintang Jasa. Menteri Pertahanan, R.I Djuanda memberi anugerah “Satyalantjana Gerakan Operasi Militer V” (1958). Pada tanggal 10 November 1967, Pejabat Presiden R.I, Jend TNI. Soeharto memberi Tanda Kehormatan “Bintang Sakti” (Anumerta) kepada Djalaluddin Tantu atas “Keberanian dan Ketebalan Tekad Melampaui dan Melebihi Panggilan Kewajiban yang Luar Biasa yang Disumbangkan kepada Negara dan Bangsa Indonesia” (SK. No. 021/X/1967). Sebelumnya, Jenderal A.H. Nasution (Wamen Pertama Bidang Pertahanan/Keamanan R.I. memberinya Bintang Kehormatan “Satyalantjana Satya Dharma” (1963). Pada Agustus 1965, Jend. A.H. Nasution (kembali) memberinya Anugerah “Satyalentjana Wira-Dharma” dengan pangkat Mayor (Pnb).

Dalam operasi “Antasari’ di Kalimantan Barat, Mayor Udara (Pnb) Djalaluddin Tantu dinyatakan gugur, pada tanggal 2 September 1964 sebagai kapten/pilot yang menerbangkan Hercules T-1307, sesuai S.K. MenpangAU No. 555/T-XIV/67. Djalaluddin Tantu adalah kebanggaan Gorontalo sepanjang masa.***

Penulis adalah Parner di Voice-of-HaleHepu.
Bekerja di Universitas Negeri Gorontalo.
E-mail: basriamin@gmail.com

Komentar