Keadilan Dalam Demokrasi, Akankah Bisa Terwujud?

Oleh : Vina Mayasari (Mahasiswa Ekonomi UNG dan Anggota Paguyuban Forum Komunikasi Pemuda Masama (FOKPEM) Periode 2017-2019

Masih lekat dalam ingatan terkait peristiwa penembakan di Tol Jakarta-Cikampek km 50, tahun 2020 silam. Kejadian yang menewaskan enam orang anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) ini kembali menjadi sorotan publik setelah putusan Hakim terhadap pelaku penembakan. Pasalnya putusan hakim yang sudah lama ditunggu ternyata mengecewakan beberapa pihak. Dilansir dari republika.co.id Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memutuskan bahwa dua polisi yang menjadi terdakwa pembunuhan sewenang-wenang terhadap laskar Front Pembela Islam (FPI) lepas dari hukuman pidana meskipun kedua terdakwa telah terbukti dalam dakwaan primer jaksa.

Menurut ketua majelis hakim M. Arif Nuryanta Perbuatan Brigadir Polisi Satu (Briptu) Fikri Ramadhan dan Inspektur Polisi Dua (Ipda) Mohammad Yusmin Ohorella tidak dapat dijerat pidana. “Dengan demikian, Briptu Fikri dan Ipda Yusmin tidak dapat dijatuhi pidana karena alasan pembenaran dan pemaaf” ungkapnya dalam putusan sidang di PN Jaksel, Jumat (18/3/2022).

Dalam pertimbangannya, hakim menerangkan alasan pembenaran itu menghapus perbuatan  melawan hukum yang dilakukan kedua tersangka, sementara alasan pemaaf menghapus kesalahan kedua polisi tersebut. Majelis hakim berpendapat seluruh unsur dalam dakwaan primer jaksa terbukti, tetapi perbuatan itu merupakan upaya untuk membela diri. Dengan demikian, kata Arif, kedua polisi tersebut tidak dapat dihukum sehingga dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Mimpi Keadilan Demokrasi

Dalam Demokrasi saat ini sering kali mengucap kata “adil” atau “keadilan”. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka putuskan adalah yang terbaik dan segala kebijakan itu telah berlandaskan pada keadilan. Padahal saat ini ketidakadilan jelas terasa, terjadi dimana-mana hampir dalam semua perkara. Yang paling kasatmata adalah ketidakadilan dibidang hukum. Dalam sistem sekuler-demokrasi yang menerapkan hukum buatan manusia, termasuk di negeri ini, keadilan hukum seolah menjadi barang mewah. Sulit dirasakan oleh rakyat kecil dan lemah. Keadilan hukum seolah hanya milik para pejabat dan mereka yang memiliki uang.

Adanya rasa ketidakadilan hukum sejatinya tidak terlepas dari produk hukum itu sendiri dan karakter penegaknya. Sudah kita ketahui, hukum saat ini merupakan hasil produk pemikiran manusia. Banyak kitab undang-undang hukum, baik pidana maupun perdata ternyata belum bisa menaungi rasa keadilan. Dari aspek proses penyelidikan hingga putusan pidana, produk hukum buatan manusia ini belum memenuhi rasa tentram dan aman bagi warga negaranya. Inilah akibat menjadikan sekularisme sebagai roh dalam menetapkan hukum.

Sekali lagi, publik dipertontonkan matinya keadilan di tengah-tengah mereka. Sebut saja ulama yang kritis pada penguasa divonis dengan hukuman yang tidak masuk nalar. Sementara pelaku kejahatan penghilangan nyawa malah bisa bebas dari jeratan hukum. Lucunya, negeri yang menjunjung nilai-nilai Demokrasi ini berkoar-koar mengatakan bahwa setiap warga negara memiliki kesamaan dalam perlindungan hukum. Padahal kenyataannya perlindungan hukum hanya bagi mereka yang duduk di lingkaran kekuasaan dan memiliki hubungan baik dengan sang pemilik kekuasaan. Lagi-lagi rakyat terlukai dengan keadilan yang diciptakan dari rahim Demokrasi.

Konsep Keadilan Yang Berkeadilan

Adil dalam Islam adalah lawan dari kata zalim. Keadilan sendiri lebih menitik beratkan pada pengertian menempatkan sesuatu sesuai tempatnya. Kunci utama keberhasilan pengadilan dalam Islam ialah hukum yang diterapkan merupakan hukum terbaik yaitu syariat Islam, bukan hukum buatan manusia seperti dalam sistem demokrasi. Dalam Islam, seseorang dikatakan bersalah apabila melanggar aturan, baik aturan agama maupun aturan negara. Dalam upaya penegakan hukum, Islam terlebih dahulu akan melakukan pembuktian. Jika dari hasil pembuktian itu terbukti tak bersalah maka terdakwa akan bebas, namun jika ternyata bersalah maka qadhi akan memberikan sanksi.

Sanksi dalam Islam terkait penyerangan terhadap manusia adalah jinayat.  Jinayat dibagi menjadi dua: pertama, penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan) sanksinya berupa qishas, diyat dan kafarat; kedua, penyerangan terhadap organ tubuh yang sanksinya adalah diyat. Semua sanksi dilandaskan pada hukum syara’ bukan atas dasar suka atau tidak suka. Karena Islam melindungi kehormatan setiap jiwa.

Dalam Islam, persoalan darah kaum muslimin bukanlah perkara yang remeh. Ada banyak ancaman yang Allah ta’ala sebutkan –baik dalam Alquran maupun dalam hadis Nabi- terhadap siapa saja yang melenyapkan nyawa kaum muslimin tanpa ada alasan yang dibenarkan oleh syariat. Karena disisi Allah, nyawa kaum muslim memiliki nilai yang cukup tinggi. Bahkan hancurnya dunia sekalipun masih lebih ringan dibandingkan dengan hilangnya nyawa seorang muslim.

Oleh karena itu, ketika keadilan Islam diwujudkan dalam masyarakat akan meciptakan keadilan yang berkeadilan. Keadilan yang akan berimplikasi mewujudkan cara pandang dan perlakuan yang sama terhadap individu masyarakat. Tidak mengenal status sosial, semua mendapat posisi yang sama di hadapan hukum. Dengan keadilan, keberlangsungan hidup orang banyak bisa terjaga dengan baik. Secara lugas, Allah pun memerintahkan agar keadilan dijadikan landasan utama untuk menetapkan hukum diantara manusia. Sebab disanalah letak keberhasilan seorang pemimpin untuk menyampaikan dan melaksanakan amanat yang diberikan. (**)

Komentar