Konflik Lahan, buah Kebijakan Pertanahan Rakyat Tertekan

KONFLIK LAHAN, KEBIJAKAN DIKELUARKAN

RAKYAT MAKIN TERTEKAN

Oleh: Stela Abdullah

Konflik lahan saat ini menjadi problema akut yang di rasakan masyarakat. Negara kian gencar membuat kebijakan yang memudahkan perampasan tanah rakyat dengan dalih pembangunan yang pada kenyataannya tidak diperuntukkan bagi kepentingan rakyat apalagi menguntungkan rakyat. Dikutip dari walhi.or.id (21/12/2023) pada Jumat 8 Desember 2023, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka Penyediaan Tanah untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023). Perpres tersebut secara historis memang dikhususkan bagi kelancaran Proyek Strategis Nasional (PSN).


Regulasi terkait dampak sosial penyediaan tanah pembangunan nasional bermula dari penerbitan Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018 yang kemudian direvisi lagi melalui Perpres terbaru 78/2023. Apabila Perpres 56/2017spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN. Dari sini tidaklah heran konflik lahan terjadi hampir diseluruh wilayah yang tersebar di Indonesia mengingat begitu banyak
pembangunan proyek-proyek yang dilakukan saat ini.

 

Beberapa diantaranya sebut saja konflik perampasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah di wilayah rempang kemarin dengan tujuan pembangunan rempang eco city dan pabrik kaca terbesar mengalahkan Malaysia dan Singapura. Berbagai dalih diajukan untuk mendapatkan tanah masyarakat rempang termasuk tidak adanya sertifikat masyarakat yang menjadikan mereka tidak memiliki hak atas tanah tersebut sehingga dirampas oleh negara. Padahal adanya sertifikat tersebut sudah dijanjikan akan dimiliki dalam waktu tiga bulan oleh rakyat sesuai janji presiden Jokowi, namun sampai sekarang hal tersebut hanyalah janji tanpa realisasi.

 

Kasus serupa juga terjadi di Gorontalo tepatnya pada Proyek Pembangunan jalan lingkar Gorontalo atau Outer Ring Road (GOR) yang menimbulkan masalah bagi masyarakat pemilik lahan sekitar yang terkena dampak atas Proyek ini. Mengutip dari Mongabay.co.id (25/6/2021) lahan warga (Merlin) seluas 4.399 meter persegi hanya dihargai Rp.52 juta. Diatas lahan tersebut terdapat usaha ternak ayam bertelur dengan tiga bangunan kendang yang masing-masing 8×30 meter.

Dalam satu kandang terdapat 2.000 ayam (total 6.000 untuk tiga kandang ayam). Selain itu, terdapat dua bangunan rumah dan satu bangunan pembibitan ayam diatas lahan tersebut. Uang dengan jumlah Rp.52 juta tidaklah cukup untuk membangun Kembali usahanya dan rumahnya, sehingganya korban menolak dengan tegas dan sampai saat ini terus mencari keadilan.

Tidak hanya sampai disitu, perampasan lahan dalam bentuk pertambangan juga terjadi di Gorontalo tepatnya di Bone Bolango. Masyarakat setempat dengan mata pencaharian sebagai penambang batu hitam kehilangan pekerjaannya dikarenakan tempat tersebut telah ditutup. Pemerintah mengklaim bahawasanya masyarakat yang menambang ditempat tersebut adalah penambang ilegal dan hanya mengizinkan mereka yang dianggap legal untuk melakukan aktivitas pertambangan ditempat tersebut.

KonFlik lahan rempang
Konflik Lagan Rempang

Para investor/ oligarki inilah yang dianggap legal untuk menambang. Mengutip dari liputan6.com (29/12/2022) Aktivis Bone Bolango Himawan Umar mengatakan bahwa seharusnya Polda bisa segera menyelesaikan kasus tersebut. Agar memberikan efek jera bagi pelaku hingga investor nakal tambang ilegal yang hanya datang mencari keuntungan.

Output Politik Oligarki

Itulah beberapa fakta perampasan lahan yang terjadi saat ini di Indonesia. Setidaknya terdapat 2.710 konflik agraria yang terjadi di era rezim Presiden Jokowi yang 470 diantaranya dikarenakan adanya Proyek Strategis Nasional (PSN). Konflik lahan adalah satu keniscayaan dalam sistem kapitalisme demokrasi yang melahirkan politik oligarki. Sistem kapitalisme yang memfokuskan kehidupan pada memperoleh keuntungan yang besar dan sebanyak-banyaknya menjadikan investasi sebagai sumber utama dalam upaya peningkatan ekonomi.

Oleh karena itu, hubungan politik dengan para investor asing kerap dibangun, penggadaian sumber daya alam terus dilakukan, hutang bertambah hingga kontrak dengan asing semakin diperpanjang yang menjadikan asing lebih berkuasa atas sumber daya yang ada saat ini. Pada tahun 2022 kemarin terjadi investasi besar-besaran dan juga PHK bagi pekerja Indonesia secara besar-besaran yang tidak lain adalah dampak dari lingkaran kekuasaan oligarki yang kian besar dinegeri ini.

Alhasil kesejahteraan masyarakat tidak meningkat, lapangan pekerjaan tidak tersedia dan rakyat semakin miskin dan menderita, Ibu dan anak-anak terlantar akibat melemahnya ekonomi, Pendidikan sulit dijangkau, ruang hidup masyarakat dirampas. Lantas inikah yang disebut untuk kepentingan rakyat? Gak salah tah?

Menanggapi konflik lahan yang ramai terjadi, tentu terdapat upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat yang merasa tertindas atas kebijakan secara paksa tersebut. Mulai dari ganti rugi, jalan pengadilan, mediasi hingga advokasi telah dilakukan untuk mencapai solusi yang adil bagi kepemilikan masyarakat yang telah dirampas secara paksa namun tetap saja tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Mengapa demikian? Hal tersebut dikarenakan dari upaya-upaya tersebut sudahlah sulit, prosesnya yang Panjang hingga biaya yang dibutuhkan pun besar. Alhasil tidak ada satu pun upaya diatas menghasilkan solusi fundamental.

Pandangan Islam 

Tujuan pembangunan dalam Islam tidak lain adalah untuk kemaslahatan masyarakatnya. Islam memiliki konsep jelas atas kepemilikan lahan dan menjadikan penguasa sebagai pelindung rakyat termasuk pelindung kepemilikan lahan. Terdapat tiga konsep kepemilikan dalam Islam diantaranya:

Kepemilikan Individu, dikatakan milik individu apabila perolehannya dari hasil jual beli tanah, warisan, hibah, menghidupkan lahan yang mati, memagari tanah tanpa pemilik/pengelola dan pemberian negara.
Kepemilikan Umum, hal-hal yang dikatakan sebagai milik umum adalah Air, fasilitas umum dan tanah (tanpa sebab-sebab diatas yang dapat diklaim sebagai milik individu) sebagaimana dikatakan dalam sebuah hadis:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal; air, rumput dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Kepemilikan Negara, dikatakan sebagai kepemilikan negara yakni seperti pajak/jizyah, ghanimah (harta rampasan perang) dan kharaj yang keseluruhannya disimpan dalam baitu maal diperuntukkan untuk kemaslahatan masyarakat.

Dalam hal kepemilikan, Islam berpatokan pada tiga konsep diatas sehingganya tidak akan ada problem perampasan lahan. Jikalau pun sewaktu-waktu lahan masyarakat perlu untuk digusur, maka seorang pemimpin dalam Islam tidak akan serta merta menggusur secara paksa tanpa imbalan yang tidak setimpal seperti banyak yang terjadi hari ini, tetapi negara akan meminta keridhoan masyarakat terlebih dahulu dan jika masyarakat menolak maka tidak akan dilakukan penggusuran apalagi sampai memaksa. Islam mengakui dengan tegas berkaitan dengan tiga konsep kepemilikan tadi dan pun akan diberikan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggarnya. Sangat jelas bahwa proyek pembangunan apapun dalam negara Islam dilaksanakan untuk kepentingan rakyat dan didukung kebijakan yang melindungi rakyat dan membawa kemaslahatan. Hal tersebut bukanlah sekedar bualan belaka, tetapi dapat dibuktikan dengan merujuk pada gambaran bagaimana negara Islam dalam pembangunan sangat melindungi dan memperhatikan masyatakatnya seperti salah satu peristiwa yang pernah terjadi pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab. Kala itu beliau sebagai pemimpin negara Islam. Layaknya yang terjadi hari ini, persengketaan lahan juga pernah terjadi pada masa ketika negara Islam memimpin. Saat itu terdapat sebidang tanah yang diatasnya berdiri sebuah gubuk reyot milik seorang yahudi tua yang letaknya tidak jauh dari kantor GubernurMesir Amr ibn al-Ash.  Amr ibn al-Ash berencana untuk membangun sebuah masjid di atas tanah tersebut sehingganya dimintalah olehnya kepada yahudi tua pemilik gubuk diatas tanah tersebut untuk menjual keduanya. Yahudi tua tersebut menolak permintaan Amr ibn al-Ash secara tegas, namun Amr ibn al-Ash tidak menyerah. Dia bahkan menawarkan harga lima kali lipat dari harga pasaran namun tetap saja ditolak. Akibat penolakan tersebut, Amr ibn al-Ash mengancam akan menggusurnya dengan dalih pembangunan masjid dan kepentingan bersama. Merasa takut akan ancaman tersebut, Yahudi tua lantas pergi menemui Khalifah Umar bin Khaththab dan mengadukan kesewenangan yang dilakukan Amr ibn al-Ash terhadapanya. Mendengarnya lantas membuat Umar marah besar dan menyuruh Yahudi tua tersebut untuk mengambil sepotong tulang dari tempat sampah yang tidak jauh dari tempat tersebut. Umar kemudian menggoreskan huruf Alif pada tulang tersebut dan memalang dengan ujung pedang ditengah-tengahnya serta meminta Yahudi tua untuk memberikan tulang tersebut kepada Amr ibn al-Ash. Singkat cerita, Amr ibn al-Ash ketakutan ketika melihat tulang tersebut yang diserahkan oleh Yahudi tua dan pada akhirnya mencabut Kembali kebijakannya. Melihat hal itu, Yahudi tua tersebut seketika memutuskan untuk masuk Islam dan menyerahkan lahan serta gubuknya kepada Amr ibn al-Ash karena merasakan keadilan dalam Islam.

Maa syaa allah sekali bagaimana Islam menyelesaikan problematika yang dihadapi oleh masyarakatnya sekalipun dari kalangan non muslim. Selama mereka mau dan mengikuti aturan dalam negara Islam serta tidak melakukan pelanggaran, maka negara Islam akan tetap melindungi dan memenuhi hak-hak mereka meskipun akidah atau keyakinan mereka selain Islam. Cerita diatas bukanlah cerita rekayasa tetapi fakta yang pernah terjadi pada masanya. Dari sini kita juga mendapati letak perbedaan antara pemimpin dalam negara Islam dengan pemimpin hari ini. Pemimpin dalam Islam adalah orang-orang yang tidak hanya berkarakter tetapi sangat peduli terhadap masyarakat, tegas dalam menghukumi ketidakadilan dan kezaliman yang dialami oleh masyarakatnya, sanksi yang tegas berpatokan pada syariat hingga mampu memberikan solusi fundamental dan hakiki. Lalu bagaimana dengan pemimpin hari ini? Semoga tergambarkan and Are you ready for Islam Kaffah?[]

Komentar