TARI ELENGGE SEBAGAI BENTUK KREATIVITAS MASYARAKAT GORONTALO DI MASA LAMPAU

Oleh: Nurlia Djafar, S.Pd., M.Sn

Dosen Seni Drama, Tari dan Musik Fakultas Sastra dan Budaya

Universitas Negeri Gorontalo

Elengge merupakan salah satu tari kerakyatan di daerah Gorontalo. Pada umumnya merupakan lukisan kehidupan rakyat dengan melihat aktivitas masyarakat yang bekerja, peniruan akan aktivitas muda-mudi yang bergotongroyong bersama-sama menumbuk padi dengan memakai alat tradisional yaitu lesung. Penulis berpendapat Elengge muncul dan hadir menjadi tarian kerakyatan dengan mengalami apa yang dikatakan dengan memetik atau meniru. Tari Elengge adalah lukisan kegotong-royongan muda-mudi bersama-sama menumbuk padi dengan memakai alat tradisional yaitu lesung atau dalam bahasa daerah “didingga” dan anak lesung atau “wala’o didingga” atau “alu”.

Kegembiraan ini hanya terjadi jika panen padi tiba, sambil bercanda muda-mudi menumbuk padi sampai jadi beras. Masyarakat pada saat itu mengembangakan tarian Elengge dalam susunan yang sederhana, belum mengindahkan nilai keindahan, hanya kekompakkan dalam gerakan baik gerakan kaki maupun tangan (Daulima, 2006: 16). Motif gerak tari yang dihasilkan saat itu berasal dari peniruan berdasarkan apa yang terjadi atau kebiasaan yang terjadi pada masa panen. Menjadi bentuk tari rakyat saat gembira menyambut kedatangan panen. Tidak itu saja nama Elengge diambil dari bunyi suara yang dihasilkan pada saat menumbuk padi. Tarian ini diangkat dari nama bunyi alat penumbuk padi (alu), yang pada ujungnya disisipkan sepotong kayu pada lubang yang berbentuk segiempat, yang jika digerakkan untuk menumbuk mengeluarkan bunyi yang disebut “ele-elenggengiyo” atau “moelengge” (Daulima: 2006:15). Sangat jelas dimana semua baik motif sampai nama tarian ini berasal dari peniruan yang terjadi pada saat itu. Sehingga penulis berpendapat Elengge masuk pada proses memetik bisa dikatakan benar adanya.

Tarian ini pertama kali ada dan berkembang dalam susunan yang sederhana, belum mengindahkan norma keindahan kecuali kekompakkan. Istilah ‘memetik’ berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti ‘meniru’ ‘tiruan’ atau ‘perwujudan’. Jika diartikan secara umum memetik suatu pendekatan penciptaan sebuah karya yang dimunculkan karena ada proses tiruan atau pembayangan dari kehidupan nyata. Reverzt berpendapat bahwa memetik dapat diartikan sebagai sebuah pendekatan yang mengkaji karya yang berupaya untuk mengaitkan karya dengan realitas atau kenyataan.

Plato mengungkapkan bahwa seni hanya merupakan peniruan (mimesis) atau pencerminan dari kenyataan. Salah satu pemikiran Plato yang terkenal ialah pandangannya mengenai realitas. Menurutnya realitas terbagi atas dua dunia yaitu dunia yang terbuka bagi rasio dan dunia yang hanya terbuka bagi panca indra. Dunia pertama terdiri atas ide-ide dan dunia berikutnya ialah jasmani. Pandangan Plato mengenai dunia tersebut terkait juga dengan konsep memetik.

Seni adalah pengalaman jiwa manusia yang diwujudkan dalam bentuk ciptaan dengan media atau simbol-simbol seni. Simbol seni adalah satu dan utuh, tidak hanya menyampaikan makna untuk dimengerti melainkan suatu pesan untuk diresapkan. Cerminan dalam simbol elengge dalam satu kesatuan utuh dalam masyarakat inilah yang ingin disampaikan para masyarakat Gorontalo di masa lampau. Teori ekspresif banyak dikaji oleh para seniman sastra yakni Abrams (1979:23) yang menghubungkan karya sastra dengan pengarang. Karya sastra sebagai curahan ucapan atau proyeksi pikiran dan perasaan penyair. Dengan kata lain menurut Abrams di dalam teori ekspresif seniman menjadikan Teori ekspresif lebih mementingkan rasa yang ada dalam diri seniman. Bagaimana mengungkapkan gagasan, maksud, dan makna dari apa yang ia rasakan menjadi sebuah simbol seni.

Sebuah kebudayaan yang dalam hal ini tari Elengge mari bersama melihat teori memetik lebih dahulu yang penulis kaitkan dengan perkembangan Elengge diawal kemunculannya. Namun dengan perkembangan jaman dan dengan mengartikan kebudayaan sebagai kata kerja, dimana kebudayaan terus tumbuh dan tidak hanya diserap namun diinterpretasikan kembali, membuat banyak pergeseran budaya salah satunya yang terjadi pada Elenggge. Menjadikan Elengge mengalami beberapa perubahan dalam hal seni pertunjukannya yang berawal dari ‘memetik’ menjadi sebuah ungkapan ekspresi. Elengge berkembang tanpa meninggalkan nilai dan makna yang terkandung didalamnya. Bermula dari gerak yang sederhana kini mulai dikembangkan menjadi tarian pertunjukan, sesuai ekspresi dari penciptanya dan mulai dituangkan dalam koreografi tanpa dibatasi oleh kepentingan lain diluar seni tari.

Elengge yang tadinya hadir untuk menghibur para pekerja dengan melakukan gerak sambil berdendang, dan hanya dilakukan saat panen tiba kini tidak lagi. Penggambaran Elengge pada masa lampau menurut salah satu pakar budaya daerah Gorontalo pelakunya memegang alat penumbuk padi dengan lesung didepannya, gerakannya terdiri dari itu-itu saja mengangkat penumbuk padi dan menurunkannya seperti halnya orang yang menumbuk padi. Gerakannya belum memikirkan nilai keindahan hanya kekompakan saja. Kini Elengge dapat dipertunjukan atau dipentaskan tanpa harus menunggu masa panen tiba. Gerakannya sudah melirik nilai keindahan yang diciptakan kembali oleh koreografer yang dikenal masyarakat Gorontalo dengan nama Kum Eraku. Tidak hanya kekompakan namun mulai ditambahkan keseluruhan komposisi baik pola lantai, level, busana penari. Properti tidak lagi membawa alat namun diekspresikan melalui gerak. Kum Eraku tidak merubah nilai, Elengge tetaplah menunjukan makna kegotongroyongan masyarakat dalam menumbuk padi.

Perubahan-perubahan yang terjadi bukanlah sebuah masalah yang mengancam karena pada dasarnya manusia adalah makhluk aktif dan budaya bukanlah benda mati. Budaya selamanya akan tetap menjadi kata kerja, selalu diinterpretasikan kembali menurut waktu atau jaman. Pergeseran menandakan bahwa manusia atau masyarakatnya masih hidup dan berbudaya. Meskipun budaya terus menerus berubah dengan cara diinterpretasikan kembali menurut pemikiran kita masing-masing namun nilai dan maknanya tetap terlihat didalamnya karena kita hanya mengembangkan dari apa yang sudah ada. Begitupun Elengge meski berangkat dari memetik dikembangkan menjadi wahana ekspresi penciptanya tetaplah akan menunjukan nilai dan maknanya di awal tadi. Tetaplah menunjukan masyarakat Gorontalo yang suka bergotongroyong.

Komentar