Kurikulum Berorientasi Ketahanan Budaya

Oleh: Ipong Niaga, S.Sn., M.Sn.

Dosen Jurusan Sendratasik Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo

 

Ketahanan Budaya Sebagai Kebijakan Budaya

Konsep ketahanan budaya yang sering kita dengar merupakan konsep yang merujuk pada dan sekaligus turunan dari konsep ketahanan nasional. Pada konsep ketahanan nasional Indonesia, tentu tak asing bagi kita, kalimat yang kurang lebih berbunyi “suatu kondisi dinamis suatu bangsa dalam menghadapi segala bentuk tantangan dan ancaman…”, yang tentu saja kalimat penegas tersebut berlaku pada dimensi-dimensi kebangsaan yang disingkat ipoleksosbud-hankam (ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan). Kamus Besar Bahasa Indonesia, mendefinisikan ketahanan budaya sebagai ‘keteguhan sikap suatu bangsa’, dan tentu saja dalam menghadapi ‘pengaruh budaya asing’ yang berkemungkinan dapat merusak atau membahayakan.

Kebanyakan dari kerangka berfikir kita tentu saja terikut pada pola negara mendefinisikan ketahanan budaya dengan mengkonstruksikannya menjadi bentuk implementasi ideologi nasionalisme sebagaimana di atas. Maka, tak heran jika semua intelektual, lembaga pemerintahan akan mengarahkan strategi ketahanan budaya ke dalam fungsi-fungsi nasionalisme yang sangat sederhana. Saya tidak menyalahkan sepenuhnya akan pandangan-pandangan tersebut. Namun patut diherankan jika para intelektual menolak untuk kritis akan cara negara menggunakan kebudayaan sebagai strategi nasional namun melupakan spektrum budaya sebagai konsepsi yang kompleks dan holistik. Etnisitas, seni, sistem pengetahuan lokal dan identitas-identitas simbolik dalam kebudayaan dalam lingkup negara tertentu tidak serta merta harus diseret secara ideologis memasuki ranah politik negara dengan alasan pertahanan dan keamanan sehingga menjadi landasan konstitusional untuk menseleksi nilai-nilai budaya berdasarkan nasionalisme saja. Krisis kepribadian bangsa yang belakangan menjadi isu nasional ketahanan budaya kita seperti berupaya mencari kambing hitam kebudayaan secara tak henti. Kebudayaan asing, ekstrimisme dan industri media telah dijadikan layar wacana yang mengalihkan perhatian kita dari dinamika internal kebudayaan kita yang penuh masalah.

Setelah masa kolonial, peliknya perebutan kekuasaan antar sesama bangsa sendiri telah merubah drastis karakter kebudayaan kita. Kewaspadaan negara akan kooptasi pihak tertentu pada satu sisi, dan perilaku pemerintah yang terkesan cenderung mengabaikan moral menjadi realitas yang paradoks bagi warga negara. Kampanye mempertahankan negara dari ancaman pihak luar pada akhirnya menjadi tontonan yang meragukan karena pada saat yang bersamaan, negara dibiarkan hancur dengan maraknya korupsi pada sistem birokrasi dan lembaga-lembaga politiknya, serta konflik kekerasan (baik yang fisikal maupun yang struktural) antara negara dan warganya.  Di antara dua fenomena inilah ketahanan budaya sebagai wujud cita-cita nasionalisme menjadi wacana yang bimbang menentukan arah. Ia hanya menjadi simbol verbal pada instansi-instansi pemerintah akan tetapi tidak tumbuh nyata di tengah kehidupan masyarakat yang semakin hari terasing dari kebudayaan itu sendiri.

 

Pesimisme Atas Masa Depan Budaya

Herkovits dan Malinowski (dalam Soekanto, 2001:187), mengemukakan bahwa determinisme budaya (cultural determinism) berarti segala sesuatu di dalam masyarakat ditentukan adanya dalam kebudayaan itu sendiri. Artinya, budaya bersifat super-organik yang akan selalu hidup walaupun orang-orang yang menjadi anggota masyarakat terus silih berganti disebabkan kelahiran dan kematian.

Namun demikian, kecemasan atas kebudayaan di masa yang akan datang akan terus lahir pada generasi yang sedang hidup dan mengalami masalah-masalah nyata dalam peradabannya yang sekarang. Sebut saja, masalah kemiskinan, ketahanan pangan, ketahanan energi, penyalahgunaan narkotika, korupsi, terorisme, dekadensi lembaga pendidikan, musnahnya bahasa daerah, lunturnya identitas-identitas etnik, konflik politik dan tentu saja ledakan penduduk yang tidak terkendali, adalah kerumitan hidup yang menimbulkan pesimisme akan masa depan kebudayaan kita. Sementara negara masih saja disibukkan dengan sisa-sisa otoritarianismenya, yang menurut Jones (2015:35), yaitu negara selalu berasumsi bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk menumbuhkembangkan individu untuk mencapai kapasitas mereka secara penuh, dan karena itu memiliki kecenderungan untuk mengintervensi dan menyensor praktik-praktik budaya dalam rangka menegaskan visi budaya yang diinginkannya.

Sangat jauh panggang dari api, jika kita masih bertahan pada konsep ketahanan budaya sebagaimana dalam konsep ketahanan nasional atau dalam definisi KBBI, karena masalah kebudayaan kita jauh lebih komplikatif dari definisi-definisi tersebut. Program-program ketahanan budaya pemerintah baru sebatas dua hal, yaitu rekonstruksi dan seleksi ideologis. Rekonstruksi-rekonstruksi atas representasi budaya masa silam sudah tak terhitung jumlahnya, baik itu yang dilakukan lembaga-lembaga pelestarian budaya maupun lembaga-lembaga kesenian dan sejauh ini hal tersebut masih dianggap solusi bagi pembentukan identitas dan kepribadian bangsa yang mengarah pada konsep nasionalisme. Namun betulkah rekonstruksi fisikal tersebut juga membawa serta nilai-nilai maknawinya? Masih menyisakan pekerjaan yang cukup sulit bagi para ahli interpretasi budaya untuk mencari jawabannya. Contoh yang paling dekat, apakah dengan mewajibkan para aparat sipil mengenakan pakaian adat di hari tertentu cukup untuk membangun sebuah identitas etnis berikut nilai-nilai luhurnya? Tentu terlalu dini untuk mengatakan itu benar. Kita harus memisahkan secara kritis antara hal-hal simbolik dengan yang substansial dari nilai-nilai kepribadian sebuah bangsa. Soekanto (2001:202) menyatakan, bahwa kepribadian diwujudkan dalam perilaku manusia. Kekuatan kepribadian bukanlah terletak pada jawaban atau tanggapan manusia atas suatu keadaan, akan tetapi justeru pada kesiapannya di dalam memberikan jawaban dan tanggapan. Maka dalam pandangan saya, hal-hal simbolik tidaklah mencerminkan kepribadian yang utuh, kita masih harus menelaah konsepsi-konsepsi di balik itu, sebab bisa saja hal-hal simbolik  hanyalah ‘obat pereda sakit’ dari sebuah masalah tetapi tidak punya hubungan solutif subtansial dengan akar permasalahannya, dan cara ini justru akan menunjukkan kepribadian kita yang sebaliknya.

Seleksi ideologis dalam budaya berkaitan dengan kekuasaan negara melalui lembaga-lembaganya dalam menentukan mana nilai yang sesuai dengan ideologi negara atau tidak. Dalam hal ini, suatu kecerobohan intelektual akan berakibat fatal pada tumbuh kembangnya budaya masyarakat. Keterbelakangan, kebodohan dan kepolosan warga negara sering menjadi bagian dari argumentasi negara dalam mengokohkan intervensinya pada praktik-praktik budaya masyarakat. Praktik yang tidak sesuai dengan visi negara akan dihilangkan dan praktik yang dianggap sesuai visi negara akan terus dilestarikan meskipun bisa saja ia sudah tidak memiliki nilai maknawi bagi pelakunya. Negara seolah lupa, bahwa ia terdiri dari manusia-manusi juga yang sama dengan manusia di sekitarnya, maka akan sulit diterima oleh nalar jika sekelompok orang memiliki kekuasaan lebih untuk menentukan arah budaya sekelompok orang lainnya. Ideologi memiliki bentuk yang abstrak dengan standar yang berbeda-beda pada setiap individu. Tanpa sebuah perbandingan yang menyeluruh dan bijaksana, perbedaan-perbedaan persepsi atas suatu hal dapat menyebabkan akibat-akibat yang fatal. Dalam soal ini negara harus lebih berhati-hati dalam melihat permasalahan. Tidak jarang kebudayaan-kebudayaan lokal ikut tergerus dalam proses seleksi ini hanya karena tidak sesuai dengan romantisme rekonstruksi budaya dalam ilusi-ilusi ‘nilai luhur’ yang sudah ditentukan sekelompok penguasa. Kebudayaan kita tentu akan terancam runtuh dalam homogenisasi di bawah kontrol verbalisme konstruksi budaya dari negara yang otoriter.

 

Paradigma Ketahanan Budaya

Dalam bukunya The Overeducated American (1976), Richard Freeman (dalam Sanderson, 2003: 511-514) mengemukakan sebuah ironi pada masyarakat Amerika di awal 70-an yang mengalami ‘pendidikan berlebihan’ (overeducated), yang mana kondisi ini bukan berarti suatu masyarakat yang anggotanya terlalu berpengetahuan atau terpelajar. Melainkan masyarakat dimana para pelajar yang berpendidikan tinggi melebihi daya serap pasar kerja yang oleh pemegang ijazah tersebut dipandang memuaskan. Dalam artian, bahwa pekerja-pekerja yang berpendidikan tinggi memiliki gaji yang tidak jauh berbeda atau sama dengan pekerja lain yang memiliki jenjang pendidikan di bawahnya. Hal ini menyebabkan pada tahun 1972 jumlah sarjana yang menanggur lebih tinggi dari lulusan sekolah menengah. Dampak lainnya pada tahun berikutnya, jumlah peminat perguruan tinggi turun dari 53% menjadi 43%. Menanggapi hal itu, pemerintah Amerika melalui universitas tidak tinggal diam dan secara bertahap mengubah orientasi kurikulum dengan mengembangkan program-program studi yang lebih praktis, yang kita kenal saat ini sebagai ilmu-ulmu terapan. Alhasil pada tahun 80-an, minat belajar di perguruan tinggi kembali meningkat. Namun pada sisi lain, meningkatnya minat pada program-program studi praktis sebanding dengan menurunnya minat pada program-program studi humaniora.

Menurut saya, gambaran di atas adalah sebuah kasus dimana negara memiliki strategi ketahanan budaya yang sangat efektif. Terlepas Amerika dikenal sebagai negara industrialis yang kontroversial, tidak ramah terhadap pribumi Indian atau masyarakat kulit hitam dan terobsesi pada penguasaan pasar ekonomi dunia dengan memiskinkan negara-negara dunia ketiga. Namun mari kita melihat kasus tersebut sebagai sesuatu yang holistik untuk menjadi dasar argumentasi yang kuat untuk menyusun sebuah konsep ketahanan budaya. Pemerintah Amerika tidak terfokus pada area-area simbolik untuk mengatasi menurunnya popularitas lembaga pendidikan tinggi yang bisa berakibat disfungsi lembaga pendidikan tinggi dalam jangka panjang. Pemerintah segera mengambil langkah sistemik strategis untuk memulihkan kebudayaan yang sedang menuju keruntuhan akibat tidak selarasnya lembaga pendidikan dengan dinamika perkembangan budaya di sekitarnya.

Pelajaran yang bisa kita ambil dari hal di atas adalah, bahwa ketahanan budaya akan diuji pada kemampuannya mendukung berfungsinya unit-unit pembentuknya dengan baik sehingga mencapai sebuah keseimbangan sosial. Ketahanan budaya sesungguhnya sangat tidak berhubungan dengan konsep pertahanan dan keamanan atau nasionalisme yang justru hanya menghadapkan warga negara pada musuh-musuh delusionalnya ketimbang memperhatikan masalah-masalah nyata di sekitarnya yang setiap saat, setiap detik menggerogoti bangunan kebudayaan masyarakatnya. Jika kita tetap pada konsep-konsep rekonstruksi budaya dalam gaya romantik atau seleksi ideologis yang menakut-nakuti warga negara, tapi pada sisi lain birokrasi kita tetap koruptif, budi daya pangan kita semakin menurun, sistem energi kita tidak terkelola dengan baik, nilai-nilai kelokalan semakin terabaikan dan masalah-masalah lain tetap menghantui, maka kita hanya akan menjadi manusia yang mengagumi budaya yang tak ada dan kebudayaan kita yang sesungguhnya runtuh perlahan tanpa kita sadari.

 

Kurikulum Perguruan Tinggi Berorientasi Ketahanan Budaya

Di era sekarang ini, yang diklaim oleh korporasi internasional sebagai Era Revolusi Industri ke-4, untuk kesekian kalinya lagi bangsa kita masih merupakan objek pasar indistri. Revolusi Industri I yang berupa mekanisasi sistem produksi baru gencar kita lakukan di era 80-an, sementara Eropa memulainya di era Elizabethan abad ke 17. Revolusi Industri II yang berupa elektrisasi pranata sosial dan ekonomi baru kita lakukan secara gencar juga di era 80-an dengan adanya program listrik masuk desa. Revolusi Industri III yang berupa komputerisasi, praktis baru dilakukan dua dekade belakangan ini. Dan kini di era Revolusi Industri IV yang berupa sibernatisasi atau penggunaan jaringan internet sebagai penghubung pranata sosial dan ekonomi melalui komputer dan telepon pintar, bangsa kita masih dalam posisi konsumen terbesar yang baru mampu menjadi penampung di hilir sebagai pengguna dan pemelihara. Harus kita terima keadaan ini sebagai takdir historis, bahwa komponen ilmu pengetahuan dan teknologi kebudayaan kita masih belum menjangkau capaian masyarakat lain. Selain itu, bagi bangsa kita sendiri, seluruh bentuk perubahan itu sifatnya adalah pengaruh (influence) dan ini menegaskan bahwa kita adalah objek yang dipengaruhi, bukan subjek yang mempengaruhi. Hal ini harus menjadi kesadaran utama bangsa kita sebagai anjakan dasar untuk menyikapi perubahan tersebut.

Konsekwensi terbesar yang akan dihadapi objek yang dipengaruhi adalah bentuk ketergantungan yang akut. Berkaca dari Revolusi Hijau di era 80-an dengan agenda utama swasembada pangan melalui mekanisasi pertanian dan penggunaan pupuk kimia, telah mengakibatkan para petani kita menjadi konsumen utama dari produk-produk tersebut dan menjadi nasabah seumur hidup pinjaman rente usaha tani yang hingga saat ini menjadi masalah operasional utama di bidang pertanian kita. Dan hari ini, di era Revolusi Industri 4.0, telah tampak jelas pada masyarakat kita gejala ketergantungan pada produk elektrik dan produk siber baik itu yang digunakan di bidang ekonomi maupun di bidang komunikasi.

Tantangan ke depan, antara lain adalah munculnya lapangan kerja baru yang membutuhkan keterampilan baru pula. Pada sisi lainnya, ada kemungkinan tergerusnya beberapa unit lapangan kerja lama dan menimbulkan pengangguran. Dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan ini, lembaga pendidikan harus segera menyiapkan sebuah strategi yang fleksibel sehingga dapat mencegah tutupnya beberapa program studi karena kurang peminatnya, dan pada sisi lainnya peserta didik menumpuk secara berlebihan pada program-program studi tertentu mengikuti tren sosial budaya dan ekonomi yang sedang berlangsung.

Selain itu, kompetensi sikap harus lebih diprioritaskan dibanding kompetensi-kompetensi lain. Hal ini adalah sebuah antisipasi ketika lulusan tidak terserap oleh pekerjaan berdasarkan kompetensi keterampilan yang sesuai bidangnya, maka kompetensi sikap adalah modal lain yang bisa digunakan untuk memperoleh pekerjaan di bidang lain, terutama kewirausahaan. Kurikulum yang berorientasi ketahanan budaya adalah kurikulum yang mengutamakan terbentuknya kepribadian peserta didik, mencakup sikap religius, sikap patriotik dan sikap sosial, dan di balik kepribadian yang kompleks ini juga terkandung keterampilan pengetahuan dan keterampilan praktikal yang memadai sebagai insan yang produktif. Pribadi-pribadi ini diharapkan menjadi individu yang tahan banting dan adaptif terhadap perubahan sosial dan mampu memberi pengaruh-pengaruh posistif saat terjadi gejolak di tengah masyarakat sampai tercipta kembali sebuah keseimbangan. Perguruan tinggi juga harus kembali mengutamakan strategi pembelajaran afektif, dimana tata nilai yang baik ditanam secara kokoh dalam pribadi peserta didik sehingga moralitas yang rasional dapat menjadi kontrol atas keterampilan pengetahuan dan praktikalnya. Para lulusan di masa yang akan datang diharapkan menjadi pribadi-pribadi yang mampu merumuskan nilai-nilai moral sosial dalam dirinya sendiri dengan matang, aktif dan sensitif terhadap perubahan sosial, responsif pada ketimpangan sosio-kultural, serta kaya atas gagasan-gagasan yang solutif terhadap masalah-masalah sosial.

 

Kepustakaan

Jones, Tod. 2015. Kekuasaan dan Kebudayaan Di Indonesia: Kebijakan Budaya Selama Abad 20 Hingga Era Reformasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Dieter, Nohlen (ed.). 1994. Kamus Dunia Ketiga. Jakarta: Grasindo.

Sanderson, Stephen K. 2003. Makro Sosiologi: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press.

Komentar