RKUHP MEMBENDUNG DEMOKRASI

Oleh: Puspita D. Agustin

Tentang masalah RKUHP Membendung demokrasi tentang penghinaan presiden yang tidak dihapuskan. Untuk membangun negara yang demokratis pemerintah memang perlu menghargai kritik bahkan jika itu bentuk penghinaan. Namun semua hal itu bisa di wajibkan dan di izinkan asalkan sesuai hak dan batasan dalam mengemukakan kritik.

Dengan membuka kebebasan-kebebasan masyarakat berekspresi masyarakat tidak lah mengapa. Namun apapun ekspresi masyarakat harus wajib di dengarkan baik di teriman ataupun tidak di terima. Penghinaan bukan kritik, jika setiap yang menyampaikan punya etika maka tidak akan terjadi penghinaan. Jaga lisan, sikap dalam mengkritik, menghargai lembaga. Negara juga wajib kita laksanakan.

Muhammad isnur berpendapat: dalam demokrasi, pemerintah perlu menghargai kritik YLBHI menyesalkan masih ada pasal penghinaan pada Presiden melalui pasal ini kebebasan berekspresi masayarakat dapat dibungkam.

Taufik Basari: Pasal penghinaan Presidenl di rumuskan kembali Pemerintah menjamin pasal penghinaan Presiden hanya untuk pengguna, bukan pengkritik.

Asal usul KUHP di Indonesia yaitu berasal dari hukum kolonial Belanda, wetboek Van strafrech voor nederlandsch-indie,berlaku sejak satu Januari 1918, diberlakukan kembali 26 Februari 1946.

Semua punya hak dan kewajiban yang sama yaitu sama-sama bertanggung jawab terhadap hak dan kewajiban kita. Kita jangan berpikir bebas tanpa batas tapi bebas yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau kita ingin menjadi bangsa yang bermartabat jagalah lisan kita, tingkah laku kita dan saling menghormati satu sama lain kita boleh mengkritik tapi ingat jangan menghina dan menghujat orang lain.

Pendapat kami pasal ini tidak seharusnya diberlakukan. Karena standar penghinaan setiap orang berbeda-beda. Contohnya jika misalnya seseorang mengkritik presiden namun presiden menganggap kritik tersebut adalah penghinaan dan keberatan, orang tersebut tetap akan terkena masalah.
Contoh lainnya “penghinaan”ini diukurnya seperti apa, apakah kalau kita menyebut pemerintah atau presiden “tikus berdasi” adalah penghinaan? Tanpa terikat aturan saja kebebasan pers di negara kita berada di ranking 110.

Menurut kami unjuk rasa yang terjadi mungkin tidak akan terjadi jika draft rancangan kitab undang-undang hukum pidana disahkan oleh pemerintah dan juga DPR. ancaman paling lama 1 tahun hingga 3 tahun yang menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang melakukan aspirasi di muka umum terlebih ketika amarah mereka dibenturkan dengan semua pasal penghinaan seperti penghinaan kepada presiden, penghinaan sejumlah lembaga negara dan juga penghinaan kepada kekuasaan yang umum.

Empat belas isu krusial RUU KUHP:
1. Pengaturan hukum adat/ living law masyarakat
2. Pidana mati
3. Penyerangan harkat dan martabat Presiden
4. Menyatakan diri dapat melakukan tindak pidana karena memiliki kekuatan gaib
5. Tindak pidana Contempt of Court
6. Unggas yang merusak kebun yang di taburi benih
7. Penodaan agama
8. Penganiayaan hewan
9. Alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan
10. Penggelandangan
11. Pengguguran kandungan
12. Perzinaan
13. Kohabitasi
14. Pemerkosaan

Pasal-pasal ini akan menjadi legitimasi bagi aparat keamanan untuk bergerak cepat menindak cepat masyarakat yang bersikap kritis terhadap pemerintah membungkam kebebasan berekspresi masyarakat. Melalui pasal ini di sebut sebagai langkah mundur dari tujuan utama pembentukan KUHP yakni dekolonialisasi dan demokratisasi. Hukum pidana sering di ungkapkan.

Utama pembentukan KHUP yakni dekolonialisasi dan demokratis hukum pidana. Pidana yang sering kali di ungkapkan yaitu kekesalan kritik yang begitu saja dan ketika menyampaikannya ke ranah kebijakan karena kepemerintahan bagian dari kritik walaupun di sampaikan dengan cara yang kurang baik.

RKUHP MEMBENDUNG DEMOKRASI

Pemerintah tidak akan mengeluarkan pasal penghinaan Presiden dan lembaga negara dari er KUHP ini karena Indonesia menganut paham yang berbeda soal diksi.

Hukuman terhadap penyerangan kehormatan dan martabat presiden bisa diperberat menjadi 4,5 tahun jika dilakukan menggunakan sarana teknologi informasi. Ini diatur dalam Pasal 219 draf RKUHP.

Kemudian, pada Pasal 220 disebutkan bahwa tindak pidana penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden ini hanya dapat dituntut jika ada aduan. Pengaduan itu dapat dibuat secara tertulis oleh Presiden.

Menurut penjelasan Pasal 218 Ayat (1) draf RKUHP, yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri” pada dasarnya merupakan penghinaan yang menyerang nama baik atau harga diri Presiden di muka umum.

Perbuatan itu termasuk menista dengan surat, memfitnah, dan menghina dengan tujuan memfitnah.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk meniadakan atau mengurangi kebebasan kritik ataupun pendapat yang berbeda atas kebijakan pemerintah.

Namun demikian, penghinaan pada hakikatnya merupakan perbuatan yang sangat tercela, jika dilihat dari berbagai aspek antara lain moral, agama, nilai- nilai kemasyarakatan, dan nilai-nilai hak asasi manusia atau kemanusiaan karena menyerang/merendahkan martabat kemanusiaan (menyerang nilai universal).

Sementara, merujuk penjelasan Pasal 218 Ayat (2) draf RKUHP, yang dimaksud “perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat banyak yang
diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi.

Pasal penghinaan terhadap pemerintah RKUHP juga mengatur tentang pemidanaan terhadap pelaku penghinaan pemerintah. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP versi 2019.

Pasal tersebut menyebutkan bahwa perbuatan menghina pemerintah dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika dilakukan menggunakan teknologi informasi.

Pembahasan revisi KUHP sempat terhenti selama hampir 3 tahun. Saat itu, rencana pengesahan RKUHP menuai demo besar-besaran sehingga dilakukan penundaan.

Kini, pemerintah dan DPR bersiap melanjutkan pembahasan RUU tersebut. Rapat dengar pendapat (RDP) mengenai revisi UU ini telah digelar beberapa kali.

Namun, hingga kini pemerintah dan DPR belum mau membuka draf terbaru RUU itu.

Semula, revisi KUHP ditargetkan rampung Juli tahun ini. Namun, pemerintah berdalih draf RKUHP belum selesai sehingga pengesahannya ditunda.

Hanya presiden yang bisa mengadukan adanya penghinaan tersebut, karena itu memang presiden tidak pernah diwajibkan menggunakan haknya.

Beberapa pasal dianggap mencoba untuk mengkriminalisasi daripada menghukum tindak pidana. Beberapa pasal yang dianggap bermasalah adalah pasal-pasal tentang kekacauan antara Presiden dan Wakil Presiden, penodaan agama dan kejahatan lainnya terhadap agama dan kehidupan beragama, masalah kesusilaan.

Sehingga ketika bicara soal pasal penghinaan kepala negara, Ia meminta agar tidak dibandingkan dengan aturan di negara lain. Pemerintah, kata dia, tidak sedang menyusun RKUHP negara lain, melainkan RKUHP Indonesia.

Jadi sangat sekali-kali membandingkan kejahatan politik, kejahatan kesusilaan, soal penghinaan, dengan negara lain, itu salah betul, karena pasti berbeda,” ujarnya.

Wakil menteri yang biasa disapa Edi ini membenarkan draft tersebut belum dapat diakses oleh publik karena masih dalam tahap revisi substansial pasal yang mendapat masukan dari masyarakat seperti pasal asusila karena itu Edi memastikan bahwa pihaknya belum siap menyambut permintaan DPR untuk mengesahkan RUU KUHP dalam Paripurna terdekat.

Kebebasan berekspresi masyarakat melalui pasal ini disebut isnur sebagai langkah mundur dari tujuan utama pembentukan RKUHP yakni dekolonialisasi dan demokratisasi hukum pidana.

Situasi ini penting untuk di perhatikan karena kondisi ini dapat memecah belah antar golongan, yaitu golongan mahasiswa bersama masyarakat biasa dan pemerintahan. Jika kekacauan terjadi otomatis masalah ini akan merembet ke hal – hal lain yang bisa menimbulkan masalah baru

Solusi kami pasal ini di batalkan saja, karena jika pasal ini di realisasikan akan membatasi lingkup demokrasi di negeri ini karena aturan ini otomatis akan membuat orang takut untuk mengkritik presiden karena pasal ini.

Sumber: CNN Indonesia

Komentar