Toys Review: Peluang dan tantangan belajar bahasa Inggris kekinian

Oleh : Abid
Dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris, UNG

Saat tahu ada anak tetangga mahir berbahasa Inggris, saya biasa saja. Tapi waktu bapaknya bilang “Gilang tidak kursus, Pak Abid. Dan kami juga tidak ajarin dia bahasa Inggris di rumah, sebab kami tidak bisa bahasa Inggris”. Kok bisa?
Gilang, bukan nama sebenarnya, ternyata cukup mahir berbahasa Inggris. Usianya masih sepantaran anak saya, 9 tahun.

Kakak Gilang juga tak kalah hebat. Bahasa Inggrisnya cas cis cus. Usut punya usut, Gilang dan sang kakak ternyata penggemar Ryan. Itu, anak yang suka unggah video bermainnya di YouTube, bersama orang tuanya. Hampir semua video Ryan sudah  dilahap kakak beradik ini. “Lama kelamaan, anak-anak saya mulai bisa bahasa Inggris, pak” kata sang ayah suatu ketika. Awalnya satu dua kata. Lalu frasa. Pindah kalimat, kemudian makin lama makin terbiasa dengan percakapan ringan.

Saling bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris pun sudah seperti ketika mereka berbahasa Indonesia. Percakapan mereka mengalir begitu saja.

Kenyataan bahwa anak anak ini bisa belajar berkomunikasi dalam bahasa Inggris dari Youtube bukannya tanpa alasan. Mereka memiliki pola belajar yang tidak lagi sama dengan apa yang kita lalui dulu. Penetrasi teknologi mempengaruhi cara mereka belajar. Mereka memiliki akses ke berbagai sumber belajar bahasa Inggris yang terbuka lebar, khususnya dalam bentuk digital.

Melalui mesin pencarian google, misalnya, anak anak bisa memperoleh informasi tentang laman-laman yang menyajikan konten pembelajaran bahasa Inggris tak berbayar. LearnEnglish Teens milik British Council, contohnya. Laman ini menyediakan sumber belajar bahasa Inggris sesuai kebutuhan pembelajar, dari level dasar sampai advanced, dari skill tata bahasa sampai kemampuan berbicara, dari materi pembelajaran sampai dengan soal-soal latihan yang bisa diunduh tanpa berbayar.

Belum lagi sumber belajar berbasis aplikasi, seperti Duolingo. Aplikasi ini menyediakan kursus berbagai macam bahasa di dunia, termasuk bahasa Inggris. Kelebihan dari Duolingo dibandingkan sumber belajar lainnya, seperti LearnEnglish Teens, misalnya, Duolingo memungkinkan penggunanya untuk mengetahui kemajuan hasil belajar secara berkala.

Di samping itu, layaknya mengikuti kursus formal di dalam kelas, saat sekian lama tidak mengakses Duolingo, pengguna akan menerima notifikasi untuk segera mengakses Duolingo kembali. Ditunjang dengan tampilan layar menarik, aplikasi ini bisa menjadi salah satu pilihan belajar bahasa bagi siapapun yang ingin belajar bahasa secara mandiri.

Sementara itu, video-video Ryan yang ditonton oleh Gilang dan kakaknya lewat YouTube memang memberikan input bahasa yang cukup efektif untuk mereka gunakan sehari hari. Mengapa efektif sebab apa yang mereka dengar dan saksikan seperti sebuah potret kegiatan sehari hari yang mereka alami. Misalnya, percakapan Ryan dan ayahnya saat mereka bermain peran dengan menggunakan beberapa boneka kecil di dalam sebuah mainan rumah-rumahan, dari salah satu edisi Toys Review milik Ryan – A (Ayah Ryan) dan R (Ryan).

A : “Hey, Ryan. Where are you going?”
R : “Play room.”
A : “Where’s your sister going, Ryan?”
R : “I don’t know. She’s invisible”
A : “Oh well, time to slide…let’s go”
R : “Wait for me!”

Bagi yang mahir berbahasa Inggris, ujaran-ujaran di atas mungkin terkesan biasa saja, tetapi bagi pemula apalagi anak anak usia sekolah dasar, ujaran-ujaran seperti inilah yang cenderung lebih mudah untuk mereka serap dan praktikkan dalam kehidupan sehari hari (Peters & Webb, 2018). Apa yang harus dikatakan saat mencari sesuatu, saat menemukan sesuatu, ketika jatuh, dan lain sebagainya juga dapat ditemukan dalam video-video seperti Toys Review dari Ryan.

Input bahasa Inggris yang diperoleh Gilang dan kakaknya hanya melalui percakapan rekaan antara Ryan dan ayahnya saat bermain peran menggunakan boneka mainan. Tetapi justru lewat percakapan rekaan inilah Gilang dan kakaknya banyak belajar ujaran atau ekspresi yang langsung bisa mereka praktikkan saat mereka bermain. Inilah yang disebut dengan authentic language development yang dapat diperoleh melalui media sosial seperti YouTube (Watkins dan Wilkins, 2011).

Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana sekolah menyikapi fenomena ini. Yang jelas, sekolah konsisten berinovasi dengan menyajikan  pembelajaran kontekstual, yang mendorong pemakaian bahasa Inggris secara natural saat anak anak berada di luar kelas. Tidak mudah memang sebab selain pendekatan pembelajaran yang tepat, dibutuhkan pula profil guru yang mumpuni dengan kemampuan bahasa Inggris handal. Guru menjadi role model yang mudah untuk ditiru dan mampu memberi stimulan penggunaan bahasanya, sebab diluar kelas anak anak bisa mengakses  banyak  “role model” bahasa Inggris yang mengasyikkan.

Kalau kelak anak anak menjadi lebih tertarik menyimak Toys Review milik Ryan dan video sejenis lainnya untuk belajar bahasa Inggris atau bahasa bahasa asing lainnya, masihkah mereka semangat belajar bahasa melalui buku pelajaran, guru dan ruang kelas di sekolah? Masihkah para orang tua terobsesi mengirimkan anak anak mereka belajar di tempat kursus sementara sajian sumber belajar bahasa yang mengasyikkan dan memberi stimulan tersedia di berbagai saluran media sosial?
Memang, posisi bahasa Inggris di Indonesia bukanlah sebagai bahasa kedua, tetapi bahasa asing yang penggunaannya terbatas di luar kelas formal.

Namun, kalau mempelajari bahasa asing ini muaranya adalah juga mampu berkomunikasi lisan dengan luwes, mengapa fokus pembelajarannya bukan pada aspek komunikasi sejak dini? Toh, anak anak bisa berkomunikasi juga diawali dengan komunikasi yang sangat sederhana dalam bahasa bapak ibu mereka.

Di sekolah sekolah dengan sumber daya yang baik, hal ini mungkin tidak menjadi masalah, tetapi di banyak daerah, ini merupakan tantangan yang perlu disikapi bersama.

Referensi
Peters, E., & Webb, S. (2018). Incidental vocabulary acquisition through viewing L2 television and factors that affect learning. Studies in Second Language Acquisition, 40(3), 551-577.

Watkins, J., & Wilkins, M. (2011). Using YouTube in the EFL classroom. Language education in Asia, 2(1), 113-119.

Komentar