BBM dan Gas Non Subsidi Naik, Berharap ke Siapa ?

Oleh : Fitriya Pakaya, S.Kep

PT Pertamina (Persero), lewat anak usaha Pertamina Patra Niaga resmi mengumumkan kenaikan harga sejumlah produk bahan bakar khusus (BBK) atau BBM non subsidi, Minggu (10/7/2022). Kenaikan harga meliputi Pertamax Turbo, Dexlite, Pertamina Dex, dan serta LPG non subsidi seperti Bright Gas. (tirto.id) Harga Pertamax Turbo (RON 98) naik dari Rp14.500 per liter menjadi Rp16.200 per liter. Dexlite naik dari Rp12.950 per liter menjadi Rp15.000 per liter. Sementara itu, Pertamina Dex naik dari Rp13.700 per liter menjadi Rp16.500.

Adapun untuk LPG nonsubsidi yang harganya naik adalah Bright Gas dan LPG 12 kg, yakni Rp2.000 per kilogram. Kenaikan harga ini berlaku untuk wilayah pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Sementara untuk wilayah lainnya beda lagi.

Kenaikan harga ini sebetulnya merupakan kali ketiga yang dilakukan Pertamina pada 2022. Per 3 Maret 2022, ketiga produk ini sudah mengalami kenaikan harga. Sementara per 1 April 2022 Pertamina pun menaikkan harga Pertamax sekitar Rp3.500 per liternya.

Dampak Kenaikan Minyak Dunia

Ibarat lepas dari mulut harimau, masuk ke mulut buaya, rakyat terus tertimpa kemalangan tiada bertepi. Setelah berjibaku dengan pandemi, kini rakyat dihadapkan pada masalah yang tidak kalah perih, yakni kenaikan harga BBM.

Harga minyak dunia yang terus naik menjadi alasan Pemerintah ikut menaikkan harga BBM. Menurut Pemerintah, jika kenaikan BBM tidak dilakukan, hal itu akan memberatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan asumsi harga minyak dalam APBN sudah sangat jauh dengan harga minyak di lapangan. Saat ini, harga minyak mentah dunia telah menembus 119 dolar AS per barel. Sedangkan, dalam asumsi APBN 2022, harga minyak dunia ditetapkan hanya sebesar 65 dolar AS per barel.

Walhasil, kenaikan minyak ini berimbas pada kebijakan menaikkan utang dan pajak yang merupakan tumpuan hidup APBN. Tentunya, rakyat turut kena imbas kedua kebijakan tersebut karena yang membayar pajak adalah rakyat. Begitu pun kebijakan penambahan utang yang akan makin membebani APBN. Lalu, siapa lagi kalau bukan rakyat yang membayar cicilan dan bunganya?

Daya Beli Masyarakat Menurun

Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T PT Pertamina (Persero) Irto Ginting mengeklaim kenaikan tersebut sudah mempertimbangkan daya beli masyarakat. Pertamax dianggap lebih kompetitif di pasar atau dibandingkan harga BBM sejenis dari operator SPBU lainnya.

Pertimbangan Pertamina ini nyatanya tidak sesuai dengan fakta lapangan. Ekonom INDEF Eko Listyanto mengatakan bahwa kenaikan harga Pertamax cukup vital karena momentumnya berbarengan dengan kenaikan harga pangan dan PPN. Situasi ini jelas cukup memukul masyarakat dan menurunkan daya beli mereka dan pada akhirnya perekonomian makin terpuruk.

Salah satu efek domino yang timbul akibat kenaikan harga Pertamax adalah langkanya Pertalite yang sudah mulai terasa. Terbukti, SPBU di beberapa wilayah mengalami kekosongan Pertalite. Kalau sudah begini, dampak ekonominya bagi masyarakat kelas menengah ke bawah akan makin terasa.

Jika Pertalite makin langka di pasaran, mau tidak mau masyarakat harus membeli Pertamax yang harganya lebih mahal. Dapat dipastikan, setiap kali harga Pertamax naik, beban rakyat pun makin berat, apalagi di tengah harga kebutuhan pokok lain yang terus meningkat.

Legalisasi UU Migas, Buah Kebijakan Liberal

Kita tidak boleh lupa bahwa salah satu langkah licik kapitalisme berupa pembatasan suplai BBM subsidi tidak ubahnya nama lain dari penghilangan BBM itu sendiri. Tidak heran, dalih yang digunakan adalah dengan menyebut bahwa BBM subsidi mulai langka. BBM jenis Premium jelas sudah terbukti mengalami nasib tersebut.

Permasalahan utamanya terletak pada liberalisasi migas yang gongnya muncul saat lahirnya UU Migas (UU 22/2001). Dalam UU tersebut, khususnya pasal 28 ayat (2), memuat tentang pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengikuti harga pasar. Ketika pemerintah Indonesia dan IMF menandatangani Letter of Intent (LoI) pada 1998, hal ini berdampak pada pelepasan harga BBM ke mekanisme harga internasional. Otomatis, subsidi migas wajib dikurangi, bahkan dicabut. Liberalisasi migas pun bergulir.

Jelas sudah, akar problem mahalnya harga BBM dan LPG ini sejatinya terkait dengan soal sistem dan paradigma riayah (pengurusan) umat. Dalam sistem kapitalisme neoliberal saat ini, riba dan liberalisasi adalah penopang ekonomi, sedangkan hubungan negara dengan rakyatnya hanyalah hubungan penjual dengan pembeli.

Oleh sebab itu, lumrah jika negara memperlakukan sumber daya milik umat sebagaimana maunya. Pilihannya, ambil fee dari “asingisasi” dan margin dari importasi yang terikat sistem moneter ribawi. Kalau rakyat perlu, mereka harus membeli, tentu dengan margin keuntungan yang lebih tinggi.

Paham sekularisme yang mendasarinya jelas tidak mengenal konsep halal/haram dan moral kasih sayang. Tidak heran jika semua aturan yang lahir darinya jadi serba liberal. Muncullah slogan, “Siapa kuat, ia yang menang.” Adapun negara atau penguasa hanya bertindak sebagai wasitnya, atau bahkan bersama para pemodal, menjadi lawan bagi rakyatnya.

Kelola dengan Islam

Kondisi di atas tentu berbeda jauh dengan Islam. Islam tegak di atas landasan iman dan mengajarkan tentang segala kebaikan. Walhasil, aturan Islam benar-benar menjamin kemaslahatan bagi seluruh alam.

Dalam Islam, kesejahteraan rakyat orang per orang benar-benar menjadi perhatian utama. Tugas pemimpin atau negara adalah mewujudkannya dengan sempurna. Tidak boleh ada satu pun rakyat yang tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya, mulai dari pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, keamanan, dan sebagainya. Juga kebutuhan atas sumber-sumber energi untuk memenuhi bekal hidup sehari-hari.

Terkait energi, Islam menetapkannya sebagai milik umat sebagaimana sumber daya air dan padang gembala (termasuk sumber daya hutan). Adapun pengaturannya adalah Islam memasukkannya dalam kerangka kewajiban negara mengurus dan menjaga umat, yakni dalam strategi politik ekonomi yang diterapkan.

Nabi saw. bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Selain itu, Islam menetapkan sumber-sumber energi tidak boleh dikuasai swasta, apalagi asing, mulai hulu hingga hilir. Negara sebagai wakil umat diwajibkan mengelolanya dengan baik dan memberikan manfaatnya kepada rakyat sebagai pemiliknya yang hakiki secara mudah dan murah, bahkan gratis.

Dalam hal minyak bumi, negara berkewajiban mengelola dan mendistribusikan hasilnya kepada masyarakat secara adil dan merata, serta tidak mengambil keuntungan dengan memperjualbelikannya kepada rakyat secara komersial. Kalaupun negara mengambil keuntungan, itu untuk menggantikan biaya produksi yang layak dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat dalam berbagai bentuk.

Dengan tata kelola minyak yang berlandaskan pada syariat Islam, negara akan mampu memenuhi bahan bakar dalam negeri untuk rakyat. Negara juga memberikan harga yang murah bahkan gratis. Dalam Islam, minyak bumi dan gas alam adalah harta milik umum yang pengelolaan dan ketersediaannya dikelola langsung oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Oleh karenanya, umat Islam harus segera mencampakkan sistem rusak ini dan kembali menerapkan sistem hidup yang berasal dari Islam. Caranya dimulai dari proses pengukuhan aspek akidah sekaligus penyadaran tentang komprehensivitas syariat Islam dalam menyolusi seluruh problem kehidupan.

Komentar