NAHDLATUL ULAMA DI GORONTALO: SEBUAH KRONIK

Oleh: Dr. Funco Tanipu, S.T., M.A

Dosen Sosiologi FIS UNG

Di sela-sela Konferensi Wilayah ke – V Pengurus Wilayah Nahdlatuk Ulama Provinsi Gorontalo, saya ingin menuliskan “sedikit” tentang Nahdlatul Ulama, khususnya di Gorontalo. Tentu kisah ini adalah bagian dari perjalanan saya dalam ber-NU secara kultural.

Nahdlatul Ulama sendiri baru berdiri di Gorontalo setelah tahun 1938 yang diinisiasi oleh Sayyid Salim bin Jindan. Dibandingkan NU, Syarekat Islam (1921) dan Muhammadiyah (1928) lebih duluan berdiri, sehingga jumlah kepengurusan cabang dan ranting lebih banyak SI dan Muhammadiyah saat itu. Bagi warga Gorontalo di masa tahun 1900 an, NU adalah organisasi agama yang tujuannya adalah untuk memelihara persaudaran sesama Muslim untuk menebar kebaikan dan membangun kemaslahatan. Secara personal, mereka tetap berkhidmat kepada Guru-guru atau ulama yang ada di Gorontalo.

Bagi saya sendiri, perkenalan dengan NU dimulai sejak masih balita. Saya diperkenalkan oleh Ayah dan Ibu serta keluarga besar kami tentang tradisi kultural Ahlus Sunnah wal Jamaah yang khas Gorontalo seperti mongaruwa, modikili, momeeraji, dan banyak ragam kultur lokal Gorontalo lainnya yang begitu kental dengan Islam. Tradisi kultural ini lalu bertautan erat dengan keanggotan saya di Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah an-Nahdliyyah (JATMAN) sejak tahun 2012.

Dalam tradisi lokal seperti itu, saya pun mengenal ti Imamu dan ti Guru sebagai sosok agamawan yang menjadi rujukan pelbagai masalah agama dan problem umum yang dihadapi masyarakat. Memang ada beberapa Ulama Gorontalo yang hidup pada kurun waktu 1950 – 1980 an seperti KH. Abdul Samad Bula (ti Tuan Samadi), KH. Adam Zakaria, KH. Abas Rauf (ti Kali Abasi), Guru Yahya Podungge (Paci Nurjana), KH. Ridwan Podungge (ti Baidu), Guru Roki, dan lain-lain, dari beliau-beliau tersebut Islam diterjemahkan kepada kultur Gorontalo melalui metode lolohuma, modudula, dan hitambelanga sebagaimana metode pengajaran tasawuf.

Belajar agama disebut dengan moguru, atau menghadap dan mencari Guru-guru yang keilmuannya sangat tinggi serta mencari barokah. Pemahaman tentang Islam di Gorontalo diperkenalkan di dalam rumah, dan dari rumah ke rumah. Ada juga dari masjid ke masjid. Kala itu sangat jarang kita menemukan tabligh akbar atau bahkan istighosah seperti di Jawa atau di daerah lain.

Generasi ulama sebelum nama-nama diatas adalah Bapu Ju Panggola, Bapu Ta Ilayabe, Bapu Hubulo, Bapu Ta Jaoyibuo, Bapu Pelehu, Bapu Tanaiyo, Bapu Ta Bala-bala, Kali Balunda dan banyak nama-nama lain yang “mastur” (tersembunyi). Pada artefak di Desa Payunga, Batudaa, ada yang lebih tua makamnya yakni Nene Ta Mela, yang tercatat di makam lahir tahun 1300.

Sebagian besar nama-nama diatas memiliki garis nasab (garis darah) dari Rasulullah SAW, baik marga Al Hasani, Al Hasni, Al Habsyi dan Assegaf dan marga-marga lainnya. Rata-rata ulama-ulama tersebut sudah berganti nama atau dijuluki dengan gelar oleh masyarakat setempat yang terkait dengan usia, tempat, kesaktian maupun maqom.

Generasi ulama sebelum tahun 1900 an dan setelah itu adalah generasi ulama sufi yang lebih menekankan pada metode pembelajaran yang mengamalkan sebelum mengajarkan, pembelajaran sesuai bakat dan potensi murid, pembelajaran berbasis pengalaman, totalitas dalam belajar, dan yang paling penting adalah ketaatan pada Guru.

Dari hal tersebut diatas, tidak heran jika penghayatan orang Gorontalo soal Islam sangat kental nuansa sufistik. Kekentalan tadisi sufistik dikarenakan ulama-ulama yang disebutkan diatas rata-rata adalah penganut Tarekat sekaligus guru Tarekat. Mereka mewarisi ilmu tersebut dari Guru ke Guru yang silsilah keilmuannya (sanad) bersambung hingga Rasulullah SAW. Pada tugas tersebut, banyak jumlah tarekat di Gorontalo yang dikembangkan, walaupun akhir-akhir ini banyak juga tarekat yang didirikan tanpa kejelasan sanad Guru maupun tarekatnya itu sendiri.

Sebagaimana kita lihat banyak guru-guru tarekat dalam pembelajaran yang ikut menghormati adat lokal sehingga di Gorontalo terkenal dengan diktum pertautan agama dan adat yakni “adati hulo-hulo’a to sara’a, sara’a hulo-hulo’a to Quruani” (adat bersendikan syara’, syara’ bersendikan Alquran). Secara praktik hal tersebut terlihat pada ritual-ritual Gorontalo.

Jadi, Islamisasi di Gorontalo bisa dipetakan menjadi beberapa fase seiring datangnya Ulama-ulama ke Gorontalo. Setiap fase adalah refleksi pada fase sebelumnya dan penguatan sistem untuk periode berikutnya. Fase 1200 – 1500 adalah fase awal datangnya ulama-ulama yang menancapkan patok Islam di Gorontalo, lalu fase 1500 – 1800 adalah fase Islamisasi melalui jalur formal kerajaan, dan fase pasca 1800 – 1980 adalah fase dimana regenerasi Ulama yang meneguhkan basis Islam di Gorontalo. Ketiga fase ini adalah tahapan bagaimana proses konstruksi sosial Islam bisa beradaptasi hingga menjadi dominan secara kultural di Gorontalo. Pasca fase-fase tersebut, terjadi pelandaian seiring lahirnya banyak tokoh Islam lintas organisasi diluar Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Fase-fase tersebut tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi berada dalam jejaring ulama yang kala itu berpusat di Mekah dan Hadramaut. Ulama-ulama generasi awal yang datang ke Gorontalo misinya untuk menyebarkan syiar Islam dan saling memperkuat basis untuk mengukuhkan perluasan ke daerah lain. Sebagai contoh, hal itu terlihat dari jejaring trio Alaydrus yang berasal dari Tarbeh, Hadramaut yang datang melakukan syiar di pantai utara Sulawesi mulai dari Buol, Palele, Gentuma hingga Manado. Mereka berjejaring dan memperkuat posisi syiar dari Guru Tu, nama lokal dari Habib Idrus bin Salim Al Jufri, pendiri Al Khaerat.

Islamisasi juga berkembang salah satunya melalui pernikahan. Pernikahan ulama-ulama dari Hadramaut dan Mekah dengan perempuan lokal telah ikut mengembangkan jejaring keturunan hingga bisa memperkuat kaki-kaki syiar. Karena hal tersebut, Gorontalo adalah salah satu basis marga Al-Hasni yang terbanyak di Asia Tenggara. Al-Hasni adalah jalur keturunan Rasullah dari garis Sayyidina Hasan.,R.A.
Pertanyaan pada bagian ini, bagaimanakah proses kaderisasi ulama di Gorontalo, khususnya yang berakidah Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam konteks kekinian? Masihkah tradisi sufistik menjadi basis pengembangan Islam di Gorontalo, yang kemudian terejawantahkan pada tradisi menjaga sanad keilmuan? Pada saat yang sama, mulai banyak tokoh agama diluar Ahlus Sunnah wal Jamaah yang kini sedang giat-giatnya melakukan pengembangan syiar.

Terkait dengan pesantren, berbeda dengan Jawa dan daerah lain, pesantren di Gorontalo baru mulai banyak berdiri diatas tahun 90 an. Pada kurun waktu tersebut, membayangkan pesantren dengan jumlah santri ribuan dengan pimpinan seorang Kyai yang kharismatik seperti di Jawa agaklah sulit di Gorontalo.

Ada memang beberapa madrasah agama seperti Madrasah Al-Fataa Al-’Arabiyyah yang sudah ada semenjak tahun 1921. Salah satu lulusan seperti Guru Yahya Podungge atau disebut Paci Nurjanah. Madrasah ini ditutup pada tahun 1940 karena alasan perang dunia. Setelah itu, baru lahir pesantren yang berlatar NU seperti Al Huda, Al Khaerat, Hubulo, Salafiyyah Syafiiyyah Randangan Pohuwato dan Sirojut Tholibin.

Pada hari-hari belakangan ini, jumlah orang tua yang memasukkan anaknya ke pesantren NU mulai berkurang, dibandingkan dengan niat memasukkan ke sekolah-sekolah yang dimiliki oleh organisasi Islam selain NU. Keadaan ini memaksa kita sekalian untuk mulai memikirkan secara reflektif mengenai metode pembelajaran serta bagaimana standar kompetensi dan keahlian lulusan pesantren bisa lebih menyesuaikan dengan kondisi zaman. Di Gorontalo sendiri, perguruan tinggi milik NU yakni Universitas Nahdlatul Ulama Gorontalo telah berhasil didirikan dan kini mulai banyak diminati.

Di level politik, NU di Goorntalo memperoleh suara sebedar 11.27 % pada Pemilu tahun 1955, sedangkan Masyumi 37.35 % dan Partai Syarikat Islam sebesar 35.78 %. Adapun PNI sebesar 12.45 %. Pada pemilu tahun 1971, Partai NU naik menjadi 14 %, sedangkan PSII turun menjadi 24 %, Masyumi turun drastic menjadi 14 %, demikian pula PNI tinggal sebesar 9 %. Pada tahun itu, Golkar berhasil mejadi pememnang Pemilu dengan perolehan suara 39 %. Pemilu 1971, wakil NU bisa meraih 4 kursi di DPRD Kabupaten Gorontalo dan 4 kursi di Kota Gorontalo. Tahun 1977, terjadilah fusi partai politik, lahirlah Partai Persatuan Pembangunan yang gabung dari NU, Parmusi, Perti, dan PSII. Kala itu, PPP lebih banyak mendapat suara di basis Masyumi dibandingkan di basis NU. Pasca itu, orientasi politik warga NU tidak lagi terkonsentasi di salah satu partai.

Baru pada tahun 1999, terbentuklah Partai Kebangkitan Bangsa yang dianggap menjadi “saluran” suara warga NU. Namun, perolehan suara PKB di Gorontalo sejak tahun 1999 hingga tahun 2019 tidak signifikan dibandingkan suara partai yang berbasis organisasi Islam lainnya seperti PPP, PKS, dan PAN. PKB di Gorontalo bisa meraih kursi yang signifikan hanya di Pohuwato, dari perolehan tersebut bisa meraih satu kursi di DPRD Provinsi Gorontalo.

Secara umum memang ada perdebatan serius tentang apakah perlu suara NU bermuara pada salah satu partai politik saat Pemilu? Ada yang beranggapan NU harus netral secara organisasi, namun bagi Sebagian kalangan NU perlu mewarnai politik dengan menyalurkan suara ke partai politik yang sehaluan dengan NU.

Di luar konteks politik, ghirah untuk ber-NU mulai tumbuh dikalangan anak-anak muda, hal ini terlihat dengan mulai banyaknya jumlah anak-anak muda yang terafiliasi dengan organisasi-organisasi NU dan yang sehaluan dengan NU seperti IPNU, IPPNU, PMII, GP Ansor, Lakspedam, Gusdurian serta ragam organisasi lainnya. Minat ini penting untuk diapresiasi mengingat kecenderungan umum yang melanda anak-anak muda yang kini lebih membanjiri komunitas yang agak berjarak dengan keagamaan. Dalam organisasi-organisasi tersebut, kaum muda NU mulai tertarik dengan isu-isu keberagaman, moderasi, toleransi dan ekologi. Minat ini agak berbeda dengan minat kaum muda NU sebelum tahun 2000 an. Dorongan untuk mulai berkhidmat di NU seperti ini menjadi mata air baru bagi penataan generasi NU kedepan.

Kisah ini sebagai upaya untuk “membaca” kembali kronik NU di Gorontalo dari sisi pengamatan “kampung” yang niatnya bisa ikut memberi sedikit pijar bagi Gorontalo secara umum. Semoga NU di Gorontalo nantinya bisa membawa terang bagi peradaban Gorontalo hari dan kelak, semoga senantiasa diberkahi selalu.

Komentar

News Feed