KPK New Strengh In The Midst Of The Corona Pandemic

Oleh: Ronaldi Timpola

(Ketua BSO Puskavasi Pidana Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo)

 

Di tengah pandemi covid-19 yang sampai saat ini masih menjadi momok yang menakutkan dan menelan korban jiwa masih terus terjadi.

Saat ini Update terakhir, 12 Desember 2020 terkonfirmasi 611,631 ( +6.338 Kasus ), Di rawat 91.602 ( 14.977% dari terkonfirmasi ), Meninggal 18,653 ( 3.050% dari terkonfirmasi) dan Sembuh 501,376 ( 81.974 dari terkonfirmasi ). Hal ini menandakan bahwa jumlah kasus Covid-19 di Indonesia terus mengalami kenaikan, pemerintah masih terus melakukan upaya terbaik untuk memutus klaster-klaster baru dengan menerapkan disiplin memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan (3M). Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah mengambil kebijakan yang mampu memberikan kekuatan kepada masyarakat indonesia.

Akibat pandemi covid19 masyarakat dibatasi untuk Melakukan rutinitas yang dapat menyebabkan timbulnya klaster-klaster baru sehingga untuk menopang sumber ekonomi masyarakat, pemerintah berupaya memberikan berbagai bantuan, baik itu bantuan Pemerintah dari Pusat dan Pemerintah Daerah ( BLT, BST, BANSOS, PRAKERJA dan bantuan lainnya).

Terlepas dari itu, yang menjadi sorotan publik saat ini ialah Kembalinya kekuatan baru di lembaga KPK (KPK  New Strengh In The Midst Of The Corona Pandemic) dalam memberantas Tindak Pidana Korupsi adanya penyalahgunaan jabatan terhadap bantuan sosial COVID19 Oleh Menteri Sosial Juliari.P Batubara.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa, terkait revisi Undang-Undang (UU) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuai Pro dan Kontra. Dari berbagai kalangan baik Politisi, Akedimisi, para ahli bahkan para Mahasiswa turun kejalan saat itu menyuarakan dan menolak revisi UU KPK yang dinilai melemahkan lembaga antirasuah tersebut.

Revisi UU KPK dipandang sebagai bentuk melemahkan dan menghilangkan independensi KPK sehingga banyak kalangan masyarakat menolak revisi UU KPK. Secara substansi, revisi UU KPK yang hendak disahkan lebih condong pada melemahkan daripada penguatan KPK. Hal ini terlihat dari substansinya yang memberi pembatasan dan pengurangan kewenangan KPK, serta mencabut independensi KPK. Pengurangan kewenangan tampak dalam poin terkait KPK tidak berwenang lagi mengelola laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) serta KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik internal. Sementara, pembatasan pada kewenangan KPK tampak dengan diusulkannya organisasi dewan pengawas yang salah satu kewenangannya memberi izin penyadapan. Terkait independensi dengan KPK disebut sebagai eksekutif dalam revisi UU KPK tersebut, maka independensi KPK menjadi hilang. Ada beberapa poin yang menuai polemik di masyarakat, diantaranya :

1. KPK tidak lagi lembaga negara Independen. Pasal 1 ayat (3), Pasal 3 UU KPK.

2. Pembentukan Dewan Pengawas. Pasal 21 Ayat (1) huruf a, Pasal 37 A UU KPK.

3. Kewenangan Berlebih Dewan Pengawas. Pasal 37 B Ayat (1) huruf b.

4.Dewan Pengawas Campur Tangan Eksekutif. Pasal 37 E Ayat (1).

5. Pegawai KPK Akan Berstatus Sebagai Aparatur Sipil Negara. Pasal 1 angka 6, Pasal 24 Ayat (2).

6. Hilangnya Independensi KPK Dalam Perekrutan Penyelidik. Pasal 43, Pasal 43.

7. Menghilangkan Kewenangan KPK Mengangkat Penyidik Independen. Pasal 45, Pasal 45 A.

8. Kewenangan Penyadapan KPK Terganggu. Pasal 37 B ayat (1) huruf b, Pasal 12 ayat (1).

9. Hilangnya Kewenangan KPK Pada Tingkat Penyelidikan dan Penuntutan. Pasal 12 ayat (2).

Inilah beberapa poin yang dinilai melemahkan kinerja dari KPK untuk memberantas Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Melihat substansi RUU KPK yang dianggap gagal untuk memberikan penguatan kepada lembaga antirasuah ini, KPK mengalami krisis kepercayaan dari masyarakat.

Berjalannya waktu setelah polemik RUU KPK disahkan oleh DPR, Bangsa ini dilanda musibah (Pandemi) Covid19 yang sampai saat ini masih menimpa indonesia. Pemerintah masih terus berjuang dalam menghadapi pandemi covid19 dengan melakukan upaya-upaya untuk mengurangi atau memutus penyebaran virus corona.

Dengan membatasi ruang gerak masyarakat untuk tetap mematuhi protokol kesehatan dan mematuhi anjuran pemerintah untuk tidak melakukan kerumunan, Salah-satu upaya yang dilakukan pemerintah indonesia untuk menanggulangi krisis ekonomi dimasyarakat akibat COVID19 Pemerintah memberikan bantuan-bantuan sosial kepada masyarakat.

Menteri Sosial, Juliari P. Batubara mengatakan “saya juga ingin salurkan bantuan ini dengan cepat, tapi harus akuntabel karena ini uang negara yang tidak sedikit”.

Tetapi yang terjadi adalah Menteri sosial  dinilai melakukan penyalahgunaan jabatan Korupsi Bansos. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan telah mulai melakukan penyelidikan kasus dugaan korupsi program bantuan sosial penanganan virus corona (covid-19) sejak Juli.

KPK  menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, termasuk Menteri Sosial Juliari P Batubara. KPK sudah menetapkan Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono selaku pejabat pembuat komitmen di Kemensos, serta Ardian I M dan Harry Sidabuke selaku pihak swasta sebagai tersangka.

Selaku penerima, Juliari dijerat Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Sedangkan, Adi dan Matheus dijerat Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 dan Pasal 12 huruf (i) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Lalu Ardian dan Harry selaku pemberi dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

KPK mengungkap ada kesepakatan fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang disetorkan para rekanan kepada kemensos melalui matheus. Untuk tiap paket bansos, disepakati sebesar Rp.10 ribu per paket sembako dari nilai Rp.300 ribu per paket bansos yang akan diteriam juliari. Tidak hanya itu, beberapa Menteri Kabinet Indonesia Maju yaitu Menteri Kelutan dan Perikanan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait izin ekspor benih lobster. Edhy ditetapkan sebagai tersangka setelah terjaring operasi tangkap tangan di Bandara Soekarno Hatta, Rabu (25/11/2020) dini hari.

“KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh Penyelenggara Negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020,” kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango dalam konferensi pers, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra tersebut ditangkap KPK di Bandara Soekarno-Hatta setibanya dari kunjungan kerja di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat.

Ada 17 orang yang diamankan KPK dalam rangkaian OTT yang juga berlangsung di Jakarta, Depok, dan Bekasi tersebut. Setelah melakukan pemeriksaan intensif, KPK menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus tersebut.

Selain Edhy, enam tersangka lainnya adalah staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Safri dan Andreau Pribadi Misata, pengurus PT Aero Citra Kargo Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito, serta seorang pihak swasta bernama Amiril Mukminin.

Diduga terima Rp 3,4 Miliar Kasus ini bermula pada Mei 2014 ketika Edhy menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.

Dalam surat itu, Edhy menunjuk dua staf khususnya, Andreau pribadi Misata dan Safri sebagai Ketua Pelaksana dan Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas
Selanjutnya, pada 5 November 2020, diduga terdapat transfer uang dari rekening Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, staf istri Edhy, sebesar Rp 3,4 miliar. Uang tersebut diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istri Edhy yang bernama Iis Rosyati Dewi.

Walaupun mendapat berbagai kritikan dari banyak kalangan, KPK sebagai lembaga penegak hukum dengan tugas melakukan upaya-upaya pencegahan, koordinasi, monitoring, supervisi, dan penindakan terhadap tindak pidana korupsi, KPK terus berusaha meningkatkan kinerja Mereka.

Tiga strategi pemberantasan korupsi yang menjadi fokus lembaga ini adalah penindakan, pencegahan dan edukasi. Secara total, pada semester 1 tahun 2020 KPK melakukan 78 kegiatan penyelidikan, 43 penyidikan perkara baru dan 117 perkara dari sebelum tahun 2020, sehingga total 160 penyidikan dilkukan pada semester ini. Pada semester 1 ini, KPK juga telah menetapkan 53 tersangka dan 43 penyidikan perkara baru, 38 tersangka diantaranya telah dilakukan penahanan.

Dalam pengembangan penyidikan, KPK juga telah melakukan penggeledahan sebanyak 25 kali dan penyitaan sebanyak 201 kali. Demikian juga pemeriksaan terhadap 3.512 saksi dalam rangka melengkapi berkas perkara ditingkat penyidikan. Sehingga upaya penindakan yang dilakukan KPK sampai saat ini berfokus pada upaya penyelamatan kerugian keuangan negara dan asset recovery.

Jika kita melihat dengan adanya UU KPK yang baru membuat KPK menjadi lembaga yang kembali menunjukkan taji atau kapasitasnya sebagai lembaga anti korupsi, sehingga menurut pengamatan penulis ini menjadi langkah positif untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk bersama-sama memerangi tindak pidana korupsi di indonesia.

KPK  New Strengh In The Midst Of The Corona Pandemic saya menilai dengan adanya UU KPK baru tidak menyurutkan ataupun mempersempit ruang gerak semangat lembaga antirasuah untuk tetap berkomitmen menyelematkan keuangan negara.

Baik upaya pencegahan dan penindakan KPK sudah menunjukkan bahwa mereka bekerja sesuai amanah konstitusi dan regulasi yang ada. Hal ini dibuktikan dengan penangkapan menteri sosial yang telah menyalahgunakan kewenangannya dalam mendistribusikan bantuan sosial yang menjadi hak masyarakat ditengah pandemi.

Tidak hanya itu, KPK sangat konsisten dan profesional dalam menjalankan tugasnya untuk menyelematkan keuangan negara.

Jika kita membandingkan upaya pencegahan tindak pidna korupsi dengan negara Denmark yang merupakan negara yang memiliki indeks prestasi korupsi paling rendah dikarenakan negara ini memiliki sistem yang terintegritas. Denmark tidak memiliki lembaga seperti KPK yang ada di indonesia, negara denmark hanya meningkatkan kerja transparansi melalui lembaga Ombusdman dan Auditor lembaga keuangan.

Jadi dengan sistem yang tersistematis ini mereka sangat terbantu, tidak hanya itu mereka memiliki semacam sekolah akademisi kepolisian yang dimana mereka diberikan edukasi untuk menjunjung tinggi upaya pemberantasan korupsi serta denmark tidak memberikan hak imunitas kepada siapa saja yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi.

Seharusnya indonesia juga bisa menerapkan sistem tersebut penulis menilai sejauh ini kita harus mengapresiasi apa yang telah dilakukan lembaga KPK untuk menyelamatkan keuangan negara tetapi kemudian ada hal yang masih perlu dilakukan evaluasi.

Saya menilai dari segi pencegahan dan penindakan sudah cukup maksimal, tetapi dari segi Eksekusi penerapan sanksi pidana seharusnya mampu memberikan efek jera kepada para koruptor. Sehingga bukan hanya sanksi 5 tahun penjara dan penerapan denda tapi kemudian harus ada sanksi yang lebih memberikan dampak efek jera sehingga kasus korupsi di indonesia tidak meningkat.

UU Nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi belum mampu menyelesaikan persoalan meningkatnya kasus korupsi di indonesia inilah yang menyebabkan peluang terjadinya korupsi. Penerapan Hukuman Mati bagi pelaku tindak pidana korupsi bisa menjadi alternatif tetapi ini perlu ada pengkajian lagi dari segi implementasi dan kategori-kategori korupsi seperti apa untuk menerapkan sanski hukuman mati.

Terakhir penulis ingin menyampaikan bahwa seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia, potensi korupsi juga meningkat. Korupsi tidak pernah bisa dihilangkan, suka atau tidak suka, itu selalu menjadi bagian dari sifat manusia dan akan terus menjangkiti masyarakat. Seiring berlanjutnya zaman Homo Corruptus, hal terbaik yang dapat dilakukan negara manapun adalah Meminimalkannya.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi “ Dunia memiliki cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukupuntuk keserakahan semua orang “

Penulis Ronaldi Timpola, merupakan   Ketua BSO Puskavasi Pidana Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo.

Komentar