86 Tahun Zain Badjeber:  Tokoh (Istimewa) Sulawesi, Berkarya untuk Republik

Catatan Basri Amin

SAYA menerima kepercayaan mendokumentasikan beberapa dokumen dan peristiwa langka di Sulawesi dan di tingkat nasional. Beliau menitipkannya untuk dikaji lebih lanjut di Pusat Studi Dokumentasi (PSD) H.B. Jassin – Gorontalo. Di antaranya, dan inilah yang cukup istimewa, adalah dokumen asli sambutan tertulis dan tertandatangani oleh Gubernur Kepala Daerah Sulawesi Utara – Tengah, Mr. Arnold Baramuli. Tertanggal di Manado 28 Oktober 1961.

 

Pesan moral di balik dokumen ini, antara lain melalui ungkapan yang sangat lantang dari Gubernur A. Baramuli di hadapan pemuda Sulutteng, 28 Oktober 1961: “…lebih baik gugur berbakti untuk Nusa dan Bangsa daripada hidup tertjemar seumur hidup…”.

 

Sejak mengenal nama H. Zain Badjeber, yang selalu terbayang adalah kiprahnya di dunia politik. Pertama kali membacanya melalui risalah Sidang Paripurna DPR-RI ketika memutuskan RUU untuk Provinsi Gorontalo, yakni UU Nomor 38 tahun 2000. Ketika itu, Zain Badjeber adalah Ketua Fraksi PPP (No.Anggota 28). Yang unik, ketika penutup pidato beliau pada momentum itu, Zain Badjeber menggunakan beberapa tuja?i klasik dan petuah (berbahasa daerah) Gorontalo tentang praktik-praktik demokratis dalam sejarah politik pemerintahan (di masa kerajaan) di Gorontalo. Itulah kali pertama sebuah “bahasa daerah” terdengar digunakan dalam persidangan resmi di DPR-RI (Amin, dkk, 2013: 142-143).

 

Jejak-juang Zain Badjeber di dunia politik bermula ketika terpilih sebagai Anggota DPRD Sulawesi Utara mewakili golongan Cendekiawan (1964-1967). Selanjutnya menjadi Anggota DPRGR/MPRS-RI, Fraksi Nadhlatul Ulama (NU), 1967-1971. Pada periode 1974-1977, menjadi Anggota MPR-RI (Fraksi PPP). Posisi di MPR terus berlangsung sampai tahun 1982. Uniknya, Zain Badjeber pada periode 1992-1997-1999 terpilih mewakili Kalimatan Selatan sebagai Anggota DPR/MPR-RI (Fraksi PPP).

 

Di masa yang cukup kritikal dalam transisi demokrasi kita, Zain Badjeber berperan besar dalam berbagai “perumusan legislasi” karena berposisi sebagai Ketua Badan Legislasi DPR-RI/Badan Pekerja MPR-RI, panitia Ad-Hoc III & I BP-MPR-RI dan Pimpinan Komisi C/A MPR-RI yang berkerja menentukan “Perubahan” UUD 1945. Karena reputasi (kerja) akademis, kapasitas politis, dan integritas kepemimpinannya, Zain Badjeber (terbukti!) tidak pernah ‘pensiun’ bekerja untuk Negeri ini di gedung DPR/MPR-RI. Tercatat jelas bahwa pada 2009-2019, berposisi sebagai ahli khusus untuk Pimpinan MPR-RI dan Anggota Lembaga Pengkajian MPR-RI. Sejak itu pula, Zain Badjeber terus berperan di Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR-RI (K3-MPR-RI, 2019-2024). Hanya satu jejak pengabdian yang sempat berpisah sejenak dengan MPR-RI, yakni ketika Zain Badjeber  menjadi Tenaga Ahli Khusus Jaksa Agung, R.I (2005-2007).

 

Zain Badjeber lahir pada 12 Februari 1937 di Poso dan mengabdi kepada Republik sejak tahun 1954-1955, tepat ketika terpilih menjadi Ketua Ranting Pelajar Islam Indonesia (PII) SMKA Negeri Makassar. Saya menandai tahun ini karena sejak itulah Zain Badjeber mendedikasikan dirinya untuk “kepentingan bangsa” dan untuk “orang banyak”. Dia terus menempa visi politik-kepemudaannya. Hanya saja, tuntutan akademisnyalah yang lebih banyak menariknya di bidang Hukum dan Partai Politik.

 

Beliau menulis tidak kurang sembilan buah buku kajian Hukum dan Konstitusi sejak tahun 1979. Sejajar dengan itu, karakter utamanya dalam penulis, pekerja sosial, dan konseptor yang tajam. Itulah yang demikian lama ia perankan di PII, HSBI Sulut, GP Ansor Gorontalo (1963-1967), NU, Lembaga Misi Islam, Jakarta, Partai PPP, dan Yayasan Pendidikan dan Dakwah Islamiyah AL-HUDA, Gorontalo (sejak 1960). Dari semua kiprah itu, saya sangat menggarisbawahi peran Zain Badjeber ketika menjadi Ketua Periodik Fron Nasional (FN) Sulawesi Utara yang menggelorakan penumpasan PKI.

 

Jejak-juang lainnya yang tak kalah uniknya adalah peran Zain Badjeber dalam pertumbuhan media cetak, majalah dan publikasi ilmiah bidang hukum. Beliau menjadi redaktur, wartawan, penulis tetap, dan koresponden di beberapa media nasional. Untuk sekadar menyebut beberapa di antaranya: Majalah Panji Siswa, majalah Abdi PII dan harian Tinjauan, Makassar (1956-1957). Tercatat sebagai redaktur harian Duta Masyarakat, Jakarta (1968-1972), redaktur Majalah Risalah Islamiyah, Jakarta (1974-1984) dan wartawan majalah Sarinah, Jakarta (1980-1988). Tercatat pula sebagai penulis tetap di harian Pelita, Majalah Dewi (Jakarta) dan harian Gala di Bandung. Peran ini dikerjakannya sepanjang 1974-1988. Di sela-sela itu, Zain Badjeber menjadi Pemimpin Redaksi majalah Indonesia Review, Singapore (1980-1982).

 

Jejak-juang lain yang tak banyak orang tahu, bahwa Zain Badjeber pernah berposisi sebagai Hakim Pengadilan Negeri di Gorontalo dan di Kotamobagu (1958-1962); Hakim di Pengadilan Negeri Manado (1967), Hakim di Pengadilan Tinggi di Tangerang (non-aktif). Sebelum itu, Zain Badjeber sempat ditugaskan sebagai Pengatur Hukum di Mahkamah Agung, R.I (1957-1958) sebelum ditugaskan di Gorontalo. Bidang Hukum, sepertinya merupakan visi beliau sejak awal, setelah menamatkan Sekolah Menengah Kehakiman Atas Negeri Makassar, kesarjanaan hukum di Universitas Islam Djakarta dan Unsrat, Manado.

 

Sekembalinya bertugas di Gorontalo sebagai Hakim, rupanya Zain Badjeber sempat menjadi Guru bahasa Indonesia (bagian A/Sastra) di SMA Negeri I Kota Gorontalo. Ketika itu, Direktur sekolahnya adalah Arie Monoarfa. Buku ajar andalan Zain Badjeber adalah karya H.B. Jassin, Tifa Penyair dan Daerahnya (edisi Gunung Agung, 1952). Enam belas tahun kemudian, Zain Badjeber secara khusus mewawancarai dengan H.B Jassin yang termuat lengkap di majalah Risalah Islamiyah (No.10/VII/1975: 28-44)

 

Catatan ini terlalu singkat untuk mengurai lebih jauh tentang Zain Badjeber. Saya pun sangat terbatas dan tak mampu mengurai banyak sisi tentang putra terbaik (Gorontalo) ini karena begitu banyak dedikasi-karya dari kehidupannya yang unik. Apalagi karena beliau pernah berkiprah di bidang ekonomi, terutama sebagai Komisaris dan Direktur Utama GAPSU (Gabungan Pelayaran Sulawesi Utara), 1976-1988; 1988-1994. Di periode ini, begitu banyak pencapaian yang digerakkan di bidang ekonomi, satu di antaranya adalah pengadaan kapal dari Jepang dan kunjungan internasionalnya di beberapa negara di Eropa, Asia, dll.

 

Bagi kita di Gorontalo, hingga hari ini, semoga saya tak berlebihan menyatakan bahwa H. Zain Badjeber adalah tokoh nasional-Gorontalo paling otoritatif dalam menjelaskan beberapa peristiwa penting dalam sejarah Republik ini di Gorontalo, antara lain tentang: (a) Peristiwa Patriotik “Merah Putih” 23 Januari 1942; (b) kedatangan Presiden Soekarno pada Oktober 1957; (c) penumpasan Permesta 1958-1959, dsb.

 

Tentu saja masih banyak peristiwa penting yang mampu digambarkan oleh Zain Badjeber, terutama dalam konteks koneksinya dengan sejumlah tokoh, momentum, dan relasi-relasi kesejarahan yang membentuk pertumbuhan kita sebagai negara-bangsa, antara lain menyangkut media-media cetak lokal di Sulawesi, gerakan Pelajar Islam Indonesia (PII), gerakan Pemuda Sulawesi Utara, kiprah Nadhlatul Ulama di Sulawesi Utara dan nasional, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dst.

 

Selamat, alhamdulillah, kepada H. Zain Badjeber memasuki usia ke-87 tahun. Tak terkira jejak-juang (melintasi zaman), tidak kurang enam dekade, yang telah bapak lalui. Secuil catatan ini hanya hendak menegaskan bahwa generasi kami yang lahir (jauh) di ‘belakang’ Bapak berusaha belajar lebih banyak dan bekerja (lebih) banyak lagi: bahwa hidup yang bernilai adalah hidup yang dijalani dengan “jiwa pengabdian” setulus-tulusnya bagi Indonesia yang berkeadilan dan yang mencerdaskan semua orang. ***

 

Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu;

Pos-el: basriamin@gmail.com

Komentar