Upiya Gorontalo – ‘Peci Hitam’ Indonesia

Oleh : Basri Amin

BANYAK  sebab mengapa “kopiah Gorontalo” kini populer kembali. Kita senang karena mesin pencari (dunia) maya mengenali dan menjelaskan memadai tentang upiya karanji – Gorontalo. Ia menjadi label identitas dan merek pemasaran. Punya harga dan marwah. Ceritanya pun sudah ke mana-mana. Di masa pemerintahan NKRI, upiya karanji semakin pesat dan melembaga di jajaran birokrasi. Sejak awal 2018, di setiap kesempatan, Gubernur Rusli Habibie sepertinya tak pernah melepas kopiah karanji-nya itu. Dari sisi pengakuan, sejak 2019 upiya karanji beroleh pengakuan Negara sebagai “warisan tak benda” (No. Reg.:201901071, Kemendikbud, R.I).

 

Di tingkat nasional, semua bermula ketika presiden Gus Dur mengenakannya secara berulang di banyak momen besar nasional. Di masa kini, hampir semua elite Gorontalo, pejabat publik, pesohor media dan Presiden Jokowi yang pernah ke Gorontalo, pastilah akrab dengan kopiah ini, plus penggunaan karawo dan kuliner lokalnya. Terakhir, Gubernur Jakarta Anies Baswedan, juga semakin akrab dengan upiya karanji. Beliau memakainya dengan elegan dan cerdas pada Seminar Nasional “Kepahlawanan H.B. Jassin Mencerdaskan Bangsa”, 22 Februari 2022 di Perpustakaan Nasional, R.I.

 

Kita tak tahu persis sejak kapan tradisi upiya karanji ini hadir dalam sejarah. Satu-satunya penjelasan yang meyakinkan adalah uraian Prof. S.R. Nur ketika menggali peran besar Sultan Eyato dalam islamisasi Gorontalo. Diulang disebutkan bahwa Eyato memiliki kharisma keagamaan yang besar. Beliau adalah mahaguru tarekat Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Melalui beliaulah, pada tahun 1674, pada khotbah Jumatnya, Eyato mencanangkan falsafah “adat bersendi Syariat, Syariat bersendi pada Al-Qur’an”. Eyato adalah teladan kekuasaan Islam yang luar biasa. Beliau tidak menerima beragam hadiah dari Eropa (baca: penjajah).

 

Eyato terbiasa dan begitu akrab dengan memakai baju dan sarung (tenunan) hasil produksi Gorontalo. Sultan Eyato senang memakai upiya karanji (Nur, 1996: 127-142). Jika demikian, sejak abad ke-17, dan melalui tokoh besar bernama Sultan Eyato, lokalitas produk-produk Gorontalo –-melalui karya rakyatnya yang produktif dan bermartabat, sebut saja tenunan dan upiya— akhirnya kekuasaan memiliki “pilihan pakaian” yang menandai akar-akar jatidirinya, berhadap-hadapan dengan opsi pakaian yang disediakan oleh Barat.

 

Tradisi lokal terkepung oleh sesuatu yang “baru”. Memasuki abad ke-20, banyak perubahan terjadi. Nasionalisme bangkit, organisasi kebangsaan lintas-suku dan kelompok menguat, pun perkembangan media cetak yang mewadahi artikulasi pemikiran dan ekspresi pengalaman. Pergaulan antar bangsa, terutama di benua Asia sendiri dan perjumpaannya dengan Eropa meluas. Membesarlah arus orang, perlintasan komoditi dan pengetahuan, teknologi, aspirasi keagamaan, kebiasaan, gaya hidup, dst.

 

Bangsa-bangsa India, Tiongkok, Arab, dan Eropa akhirnya membawa pengaruh dalam pola berpakaian. Tentu ukuran pengaruhnya berbeda-beda di setiap tempat, begitu pula sebaliknya. Di bidang bahasa, pengaruh itu sangat terasa. Ribuan, bahkan puluhan ribu kosa-kata kita di Nusantara, menyerap kata-kata dari bangsa-bangsa tersebut. Belum soal alat-alat musik, makanan/minuman, pengobatan, arsitektur, dst.

 

Dalam soal songkok, peci, atau kopiah, di setiap bagian di masyarakat kita di Asia, termasuk di negeri-negeri Melayu, variasinya demikian unik. Hampir di semua bangsa memiliki ciri khasnya masing-masing dalam urusan “penutup kepala” bagi laki-laki maupun pakaian bagi perempuan. Penutup kepala adalah sebagian dari penanda banyak hal: status sosial, otoritas keagamaan, solidaritas kelompok, corak budaya, pilihan pekerjaan, dst.

 

Adalah Soekarno yang dengan tegas punya sikap tentang “Peci Hitam” sebagai penanda (gerakan) kebangsaan dan penyadaran tentang keIndonesiaan. Itu dia yakini sejak 1920an. Bung Karno berkeyakinan bahwa peci sudah lama akrab dengan “masyarakat kebanyakan” yang egaliter, sebut saja kalangan buruh di masyarakat Melayu (Isnanei, 2020). Kita tahu, sepanjang kariernya, Soekarno tak pernah lepas dari peci hitam. Di Amerika dan di Eropa, ketika beliau keliling dunia, peci hitam tak pernah ia lepas, sama-sama lengkapnya dengan pakaian kebesaran beliau yang terkenal rapi dan wibawa (lengan panjang, berdasi, dengan beberapa kantong dan lencana, plus tongkat-nya…).

 

Di Gorontalo sendiri, peci hitam sangat populer, sebagaimana bisa kita cermati pada tokoh-tokoh terdidik Gorontalo di era 1930an. Di antara mereka yang aktif sebagai tokoh pergerakan kebangsaan dan cendekiawan yang terpandang, misalnya Azikin Datau, Antoe Haroen, Hadi Addaba, Ismail Napoe (Bandung), dll. Tulisan-tulisan dan kabar-kabar kegiatan mereka di media biasanya terpampang foto-fotonya yang mengenankan peci hitam, dengan setelan jas-dasi-lengkap. Terkesan mereka menyatukan Barat dan Timur dalam tampilan. Tokoh persaudaraan Arab-Indonesia di Gorontalo yang terkenal, yang juga sebagai pengusaha terpandang di Sulawesi, Said Djibran, juga mengenakan peci hitam ketika menuliskan perkembangan PAI di Celebes Oetara di majalah PAI di Surabaya (1939).

 

Pada dekade berikutnya, jika kita perhatikan beberapa foto pada momen 23 Januari 1942, dwitunggal Nani Wartabone – Kusno Danupojo, dkk sudah begitu akrab dengan peci hitam. Demikian pula pada periode 1950-1960an. Gejala kolektif inilah yang berlangsung hingga hari ini, terutama untuk kegiatan formal di masyarakat maupun di pemerintahan. Di beberapa wilayah, penggunaan peci adalah bagian dari arahan adat masyarakat dan mewarnai keadabannya.

 

Adalah M.S. Khatib (Siasat, edisi April 1955) yang melacak tanda-tanda awal bagaimana “Peci sebagai pakaian nasional”. Pakaian corak kebangsaan Indonesia adalah “teluk belanga dengan peci”, demikan catatan Khatib di era 1950an. Ia bahkan menemukan bagaimana pengaruh “Peci Padang” (dari bahan sutra dan mengkilap) membawa pengaruh ke tanah Jawa. Tak lama setelah itu, bahan/kain peci berubah, karena yang lebih disenangi adalah yang berbahan beludru. Jenis ini dari Italia, sebelumnya dari Jepang.

 

Uniknya, sampai pertengahan 1950an, pemesanan peci hitam berbahan beludru lebih banyak diproduksi di kota Medan dan Pekalongan. Kedua kota ini punya merek seminal sendiri. Mahasiswa Indonesia yang belajar di Mesir (1950an) banyak memesan peci hitam dari Medan dan Pekalongan. Presiden Soekarno pun banyak menerima peci hitam buatan Medan, dengan ukuran yang pas dengan beliau (Khatib, 1955: 17). Di masa kini, yang kita saksikan adalah “sejarah baru” penutup kepala, di mana peci, kopiah, songkok hadir dengan beragam bentuk, gaya, aspirasi, afiliasi dan tafsir. Pejabat yang korup sekalipun tetap saja akrab dengan peci hitam itu –-terutama ketika ia dilantik/disumpah untuk jabatan tertentu, dengan mengucap kata “Tuhan” di depan atasan yang memilihnya. Dia lupa (?) bahwa ada Kitab Suci di atas kepala-nya.***

 

Penulis adalah Partner di Voice of Hale-Hepu.

E-mail: basriamin@gmail.com

Komentar