Rachmat Gobel dan Tantangan Masa Depan Gorontalo

Ditulis ; Alyun Hippy

*Prolog*
Dinamika politik Gorontalo, kian bereskalasi. Pasca Rachmat Gobel memberi sinyal, akan ikut dalam ajang kontestasi Pilgub Gorontalo 2024 mendatang.

Wacana yang masih terus bergelinding itu, menjadi karlota politik terpanas di Gorontalo saat ini.

Yang lebih menarik lagi, meski baru sebatas wacana politik. Namun fenomena itu, telah menebar aroma kecemasan. Terlebih pada politisi, yang punya obsesi duduk di jabatan Gubernur.

Tak hanya mengundang reaksi di level elite saja. Kalangan biasa, turut larut mendiskusikan wacana tersebut.

Pro dan kontra pun terbentuk, dengan beragam alasan yang melatarinya.

Dari soal kepantasan kapasitas Rachmat Gobel, yang dinilai lebih pantas masuk ke arena kontestasi Pilpres, guna mendongkrak gengsi dan kebanggaan rakyat Gorontalo.

Hingga alasan adanya krisis kepemimpinan di dareah. Lantaran mulai menipisnya kepercayaan rakyat terhadap elite politik, akibat dinilai setengah hati bekerja untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Mengapa sikap politik Rachmat Gobel yang bisa dibilang, biasa saja itu. Kemudian menjadi gosip politik yang panas di Gorontalo..??

Setidaknya ada berbagai pra kondisi yang menyebabkan fenomena majunya Rachmat Gobel, menjadi begitu menyita perhatian publik.

Pertama. Merebaknya percakapan publik soal, waacana Rachmat Gobel maju di Pilkada Gubernur Gorontalo. Didorong oleh kecemasan para elite politik, yang keliru mengartikulasikan sikap politik Rachmat Gobel.

Kecemasan yang kerap kali terlihat dalam komunikasi publik, yang di potret oleh beragam media berita lokal.

Mungkin saja bisa dibilang, Rachmat Gobel tidak berambisi mengikuti kontestasi Pilgub Gorontalo 2024.

Sebab, Ia juga pernah menyampaikan, tidak akan ikut kontestasi Pilgub, jika sudah tak ada lagi tantangan serius, yang mengharuskannya turun langsung ke medan laga.

Rachmat Gobel memang punya prasyarat dan indikator sendiri untuk mementukan sikap, ikut atau tidak ikut pada kontestasi Pilgub 2024.

Ia tidak akan ikut kontestasi Pilgub 2024, jika output pembangunan yang dihasilkan secara kolektif oleh para kepala daerah, sukses membuat Gorontalo kembali bercahaya.

Mengubah Gorontalo, dari predikat provinsi dengan jumlah persentase penduduk miskin terbesar ke-5 di Indonesia, menjadi provinsi termakmur Ke-5 di Indonesia.

Rachmat Gobel sendiri mematok tahun 2023 adalah deadline baginya untuk menentukan sikap politiknya.

Jika Tahun 2023 kondisi itu tidak terwujud, maka Ia akan lebih memfokuskan seluruh energi dan sumber daya politiknya, untuk memenangkan kontestasi Pilgub, yang akan digelar bersama pada tahun 2024.

Mengapa Rachmat Gobel menggunakan indikator kemiskinan sebagai prasyarat, sekaligus pijakan sikap maju atau tidak maju pada kontestasi Pilgug 2014..?

Tak banyak yang mengurai soal itu. Narasi para elite lebih banyak berkutat di pusaran kombinasi pasangan ataupun beragam skenario terkait kemungkinan koalisi yang akan tercipta.

Bisa saja. Maju atau tidak majunya Rachmat Gobel pada kontestasi pilgub 2024, dengan indikator kemiskinan sebagai tolak ukurnya. Adalah pesan moral politik kepada para elite, utamanya kepala daerah maupun mantan kepala daerah, yang berniat maju pada kontestasi Pilgub 2024.

Sebuah pesan yang jelas dan terang. Jabatan kepala daerah adalah amanah untuk menghadirkan kemajuan daerah dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bukan sebatas tilanggulo (nama tenar) bahkan tilapulo (penghasilan).

Isyarat itu, juga sebagai pesan satire politik yang kira-kira maknanya seperti ini. “Mengurus rakyat se ukuran kabupaten saja bisa tidak sukses, bagaimana mungkin bisa sukses mengurus rakyat se ukuran provinsi apalagi seukuran negara”.

Memang pesan satire itu terasa menyakitkan. Namun sebetulnya, sakitnya tidaklah sepadan dengan rasa malu yang ditanggung Rakyat Gorontalo.

Hampir satu dekade harkat dan martabat orang Gorontalo direndahkan dalam pergaulan Indonesia, lantaran Gorontalo sangat awet, menempati ranking ke-5, sebagai provinsi dengan persentase penduduk miskin terbesar di Indonesia.

Masalah kemiskinan di Gorontalo, bukan hanya menjadi momok yang menyakitkan bagi sejarah perjuangan pembentukan Provinsi Gorontalo. Melainkan juga sebagai indkator adanya sebuah kondisi, salah mengurus masalah dan keliru mengolah pemerintahan.

Masalah yang juga, menjadi faktor pendorong bagi Rachmat Gobel untuk meninggalakan kehidupan nyamannya di dunia bisnis dan masuk dalam kontestasi politik, agar bisa ikut berpartisipasi lebih luas membangun Gorontalo melalui jalur politik dan pemerintahan.

(bersambung……)

Komentar