Memuliakan Pejabat, Merayakan Jabatan

Oleh : Basri Amin

Kedudukan para pejabat sangat mulia dengan amanah di pundaknya. Kebijakannya berdampak bagi nasib banyak orang. Tapi, mereka pun potensial terhina jika lancung dengan panggilan luhur itu. Bukankah puluhan tahun lalu, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Rektor, Direktur, Legislator, dst adalah judul-judul jabatan yang indah dan wibawa di benak publik. Mereka adalah penyelenggara negara!. Mereka disumpah di bawah Kitab Suci. Lalu, apa yang banyak terbukti?.

Di masa kini, ratusan di antara jabatan-jabatan itu terbukti banyak yang korup. Mereka banyak tersungkur karena sogok-menyogok, manipulasi, korupsi, gratifikasi, jual-beli jabatan, dst. Integritasnya tercampakkan. Kini setiap saat kita menyaksikan bagaimana pecundang dan pembual berkedok sebagai ‘pejabat’ publik. Di antara mereka, tak sedikit pula yang lencana-lencana kehormatan, gelar-gelar akademis yang wah, dan lambang-lambang penghargaannya bersusun-susun. Tapi, di alam nyata, mereka adalah orang-orang yang rapuh etika dan adab hidupnya.

Uniknya karena keberadaan para pejabat, penjabat, dan jabatan cenderung dirayakan di ruang-ruang publik. Kabar-kabarnya tak pernah habis. Padahal, apakah yang sungguh-sungguh yang membanggakan dengan “fasilitas” dan “uang negara” yang dipercayakan kepadanya. Bukankah setiap “kilatan” lambang dan “jahitan” di pakaian dinas/pangkat-pangkatnya adalah buatan dari orang-orang yang tak pernah kita pastikan nasibnya.

Bukankah setiap rupiah yang masuk di rekening gaji dan tunjangan adalah akumulasi keringat (baca: pajak) dari banyak orang dan dari banyak sektor di Republik ini? Bukankah setiap asesori, perabot, peralatan, kertas-kertas, dst di ruang-ruang jabatan itu adalah buah tangan “orang biasa” dari tempat-tempat yang jauh. Setetes tinta dari pena-jabatan kita pun boleh jadi tak berasal dari (produksi) negeri kita. Kita gagah dalam tampilan, heroik dalam kata-kata, tapi begitu gagap untuk jujur kepada daya-cipta dan jejak-kerja kita sendiri. Menumpang tenar dengan uang negara dan melambungkan ambisi kekuasaan di atas jerih-payah pihak lain.

Simbol Garuda dan logo Lembaga negara di lambang-lambang kedinasan, di kop-kop surat-surat resmi, dan surat-surat keputusan yang diterbitkan adalah penanda bahwa ada “prinsip dasar” yang mengatasi semua kepejabatan dan kewenangan. Dengan itulah kita berharap, agar para pejabat juga memerankan dirinya sebagai “pendidik” publik. Pembawaannya di ruang-ruang terbuka, termasuk di media sosial, haruslah menggambarkan kediriannya sebagai “orang terpilih yang dipercaya oleh negara” mengurusi kepentingan orang banyak. Dengan demikian, posisinya sebagai “subjek” yang bekerja, yang menjalankan amanah, yang melandaskan perannya pada regulasi dan misi tertentu, terpantulkan sedemikan rupa dalam perangai etis dan profesionalnya.

Bukan sebaliknya, sadar atau tak sadar, para pejabat lebih terbiasa menampakkan dirinya sebagai “objek” yang tergantung-berlebihan kepada perlakuan dan akses dari atasan yang memilih/mengangkatnya. Sehingga orientasinya lebih dominan kepada menyenangkan atasannya. Ia lebih aktif menempatkan atasan sebagai “bos”-nya; sementara dia sendiri mematok-diri sebagai sekadar operator lapangan. Kita harus waswas jika watak feodalisme kembali subur di tengah-tengah praktik-praktik bernegara dan berpemerintahan kita.

Belakangan ini yang kita saksikan adalah kekisruhan sistemik karena watak korup sudah mendarah-daging di banyak kalangan pejabat publik di negeri ini. Kapasitas mengerjakan perubahan dengan mudah runtuh karena kepungan kepentingan jangka pendek yang menyilaukan kehidupan (para) pejabat: hedonisme gaya hidup, ketenaran keluarga, jejaring kelompok, akumulasi aset-aset pribadi demi kelanggengan hidup nyaman, dst. Pola hidup mewah dengan aneka barang ber-merek, asesori privat, dan mobilitas pribadi yang mengesankan citra-sejahtera-terpuji, bahkan menghinggapi anggota keluarga dan/atau perkawanannya –yang nyata-nyata beroleh manfaat dari kepejabatan tertentu–.

Catatan ini tentu tak begitu imbang mempercakapkan beberapa gejala yang setara, yaitu pejabat, pesohor publik, pemuka masyarakat, pemimpin organisasi, termasuk leader di bidang ekonomi, agama dan pendidikan. Padahal mereka pun sebenarnya menempati “posisi” berpengaruh di ranah publik. Soalnya sederhana saja, pejabat publik adalah memang yang paling menonjol beroleh sorotan di masyarakat karena mereka memegang sumberdaya publik (baca: uang negara, fasilitas, kewenangan kebijakan, dst)..

Mungkin karena merasa punya wewenang, maka tak heran kalau hari-hari ini kita menyaksikan bagaimana ruang publik disesaki oleh pesan-pesan visual oleh kalangan pejabat. Pun sama di media publik utama. Siaran-siaran berita (berbayar tentu!) juga diisi sebesar-besarnya oleh para pejabat. Atas nama sosialisasi dan diseminasi program pemerintah, media kita, terutama di daerah-daerah, nyaris sudah terisi penuh dengan kabar-kabar pemerintahan dan pembangunan. Kita tak menemukan ruang bagi “publik” dan representasi pengetahuan dan aspirasinya termediasi-produktif di media. Publik kemudian menjadi cair dan liar sekaligus. Ia nanti beroleh judul ketika ada insiden yang memaksa perhatian kita (baca: demonstrasi mahasiswa, protes rakyat, petisi kelompok, mosi-mosi tidak percaya, dst).

Sosialisasi (pembangunan) yang berlebihan akan mematikan partisipasi. Diseminasi agenda (pemerintahan) yang didominasi oleh (figur) pejabat adalah bentuk ‘propaganda’ yang mematahkan ruang-ruang apresiasi dan inovasi yang otentik di masyarakat. Serba (Saya!). Serba (harus) terberitakan tentang Saya dan pemerintahan Saya merupakan sebuah ke-Humas-an pemerintahan yang tidak sehat karena mem-persona-lisasi pemerintahan itu sendiri. Anggaran Humas, belanja iklan, sosialisasi lembaga, dan pola-pola perannya yang terus membesar/membengkak di sektor pemerintahan/pembangunan -–termasuk di sektor pendidikan, keamanan, layanan sosial, dst– haruslah diperiksa peruntukannya agar tidak menjadi fasilitas ekstra yang berlebihan atas “sisipan” pencitraan pribadi (figur) pejabat dan perluasan katrol kariernya. Lembaga hukum negara dan pemeriksa-keuangan negara seharusnya super peka dan lebih handal memeriksa watak-watak (terselubung) dan pola-pola conflict of interests di balik praktik-praktik publikasi (pejabat) di ruang-ruang publik dewasa ini. Agar lebih pasti, yang mana kampanye, yang mana propaganda, yang mana sosialisasi, dst. Dengan begitu hak-hak informasi publik dan edukasi masyarakat terjaga nilai-nilainya.

Publik kini tak tahu lagi di mana batas-batas praktik kepemerintahan yang sebenarnya –di mana etika (kepantasan) peran pejabat/pemerintah itu terselenggara secara etis, akuntabel, dan partisipatif–. Terkesan, ada kesewenang-wenangan mendayagunakan sumberdaya publik oleh kefiguran (pejabat) dalam mengisi ruang-ruang media dan ruang-ruang publik. Contoh sederhana, apakah etis, berintegritas atau tidak, apabila posisi “suami” (pejabat publik) dan “istri” (bukan pejabat publik) ikut bersama-sama, saling campur publikasi dan tak ada habis-habisnya tampil di mana-mana/di ruang publik? Apakah memang keduanya sama-sama pula bertanggung jawab kepada negara/publik atas penggunaan (kewenangan) jabatan dan pemanfaatan (anggaran) negara yang dipakai demi mengisi ruang-ruang publik itu? Yang mana/siapa yang berposisi sebagai appointed positions dan yang mana sebagai elected (public) officials? Jabatan suami adalah satu hal dan tempelan status/posisi tambahan bagi istri adalah hal lain lagi.

Tidak mudah memang. Faktor ikatan keluarga, terutama. Ia dalam banyak hal aktif membentuk ikatan-kepentingan yang terselubung dalam organisasi pemerintahan. Modus-modus pembenaran dan pola-pola kerja yang mewadahi langgengnya jejaring keluarga dalam menguasai pengalokasian jabatan, kesempatan-kesempatan karier, dan distribusi fasilitas di ranah kebijakan dan pemerintahan. Di banyak tempat, gejala ini paralel dengan ikatan-ikatan lain bernama kesukuan, afiliasi organisasi, koneksi almamater, pertemanan lama, dst.

Kita tahu bahwa “ikatan” (primordialistik) seperti itu sudah inheren/permanen dalam sejarah sosial kita, tetapi fakta-fakta itu harus (bisa) dilampaui oleh komitmen yang lebih luhur, tegas terukur dan ketat secara prinsipil, yakni tentang profesionalisme, tata-kelola organisasi, moralitas, dan keadilan. Pemerintahan modern justru memberi sumbangsih besar atas kemajuan kemasyarakatan kita karena berhasil membangun standar, mekanisme, dan konsekuensi. Itulah sebabnya, dalam etika birokrasi modern, kaidah-kaidah bernama integritas, akuntabilitas, dan transparansi menjadi pilar utama.

Kendati tidak mudah mencapai idealitasnya sekaligus dan terwujud merata di semua organisasi pemerintahan, tetapi arah dan nilai dasarnya haruslah kokoh dijadikan pegangan bersama. Hanya dengan itulah, pemerintahan kita sungguh-sungguh bekerja-mengurus “kebajikan bersama” (Moore, 1995). Di sinilah letaknya mengapa pemerintahan modern terus-menerus diperbaiki dari waktu ke waktu. Di titik dasarnya, “kepentingan publik” dan tanggung jawab terhadap amanah konstitusi dikerjakan sebagai sebuah panggilan tugas. Dedikasi (pengabdian) setiap pejabat publik dengan sendirinya mulia dan berdampak di dalam karakter intrinsiknya. Kepada para pejabat, jagalah kehormatan. Jangan anti nasehat dan teruslah belajar. Jangan merasa pintar dan hebat sendiri. Di sekitar kalian banyak penjilat dan pecundang. Ruang publik bukan ruang pribadi dan milik kelompok. Jadilah “pejabat” yang berperan sebagai “pendidik” publik. ***

Penulis adalah parner di Voice-of-HaleHepu.
Surel: basriamin@gmail.com

Komentar