Catatan Literasi Kota Gorontalo, ‘294’ Tahun?

Basri Amin

Pusat Analisis Regional – PuSAR

 

Kota yang maju harus selalu bisa memastikan (perjalanan) sejarahnya, juga tentang cita-cita luhur warganya. Kota Gorontalo memperingati HUT-nya yang ke-“294” tahun ini. Angka ini “dirumuskan” oleh dua sarjana (sejarah) Gorontalo melalui sebuah seminar. Rujukannya adalah bahwa Kota Gorontalo “menjadi kota” ditandai dengan perpindahan ibu kota kerajaan di masa Maharaja Botutihe dari wilayah Dungingi ke distrik (bendar) kota. Posisinya adalah di pusat kota yang kini ditempati banyak jawatan pemerintah, perdagangan, permukiman.

 

Peristiwanya, menurut kajian bahan seminar oleh Drs. B.J. Mahdang dan Drs. Ibrahim Polontalo (1980) adalah 6 Sya’ban 1170 hijriyah. Di titik inilah “akurasi tahun” bagi HUT Kota Gorontalo membutuhkan pemastian dan pemaknaan baru. Kedua pakar kebanggaan kita tersebut ngotot membaca/merujuk (kekeliruan) salah cetak angka dalam lampiran (peta Gorontalo) yang ditulis oleh penulis Bastiaans tahun 1939, yakni 1140 hijriyah yang kemudian dikonversi menjadi 1728 masehi –sebagaimana hari ini diterima sebagai tahun resmi yang dipakai sebagai dasar HUT Kota Gorontalo.

 

Harus dicatat bahwa pada tahun 1728 masehi, Botutihe belum menjadi maharaja Gorontalo (perhatikan angka tahun dari data arsip kolonial yang dipelajari Juwono & Hutagalung, 2005: 157). Sebenarnya, Prof. S.R. Nur mengirim ke Gorontalo sejumlah catatan dan dokumen pendukung dari Makassar melalui suratnya tertanggal 1 Oktober 1979 –dalam suasana pembahasan HUT Kota Gorontalo di DPRD tahun 1979. Beliau sudah mengoreksi angka 1140 hijriyah itu, dengan tetap mensahkan 6 Sya’ban. Angka 1140 hijriyah adalah keliru dan itu munculnya (hanya) di lampiran peta Gorontalo, sementara dalam isi tulisan Bastiaans tertulis 1170 hijriyah.

 

S.R. Nur mencuplik rinci beberapa rujukan berbahasa Belanda bahwa 6 Sya’ban 1170 hijriyah itu adalah tahun 1756 masehi, BUKAN tahun 1728. Dari sini, konversi tahun hijriyah ke masehi menjadi persoalan pertama dan utama (a). Selanjutnya, persoalan kedua (b) adalah periode pemerintahan Maharaja Botutihe. Kajian dua orang ahli arsip/sejarah kolonial yang punya otoritas terhadap dokumen-dokumen asli di abad ke-18 (Juwono & Hutagalung. 2005: 157) ternyata menegaskan bahwa periode Maharaja Botutihe adalah 1736-1757 masehi. Yang mulia Maharaja Botutihe –dikenal cerdas dan tegas– naik tahta pada 9 Juli 1737. Beliau menandatangani kontrak dengan VOC pada 8 Juli 1737 dan dipaksa memenuhi kontrak-kontrak sebelumnya (9 Juli 1710, 26 September 1730 dan 23 Maret 1678 (Nur, 1979). Data tersebut tidak sederhana karena berdasarkan riset bertahun-tahun dan dikerjakan menurut metodologi sejarah yang ketat.

 

Nah, kini mana yang benar untuk dirujuk, 1728 atau 1756 (padangan Prof. S.R. Nur). Temuan S.R. Nur sangat jelas paralel dengan data arsip kolonial sebagaimana ditemukan oleh dua pakar sejarah dan arsip. Data periode Maharaja Botutihe juga sudah pas. Karena manalah mungkin tahun 1728 menjadi rujukan padahal Botutihe menjadi raja nanti pada tahun 1736 sampai 1757. Maka, sudahlah juga lebih benar dan sah bahwa Kota Gorontalo didirikan di masa Maharaja Botutihe di periode pemerintahannya, bahkan di “tahun puncak” kariernya sebagai maharaja yakni tahun 1756, setahun sebelum beliau akhirnya diturunkan oleh penguasa kolonial. Konversinya, 6 Sya’ban 1170 = 26 April 1756 (kajian Prof. S.R. Nur). INI yang lebih masuk akal dan handal untuk diperingati sebagai HUT Kota Gorontalo.

 

Sebenarnya, HUT Kota Gorontalo yang melacak sumber-sumber sejarahnya bermula dari pembahasan di DPRD Kodya Gorontalo pertengahan tahun 1979, di masa H. Dj. Rachman sebagai Ketua DPRD dan Jahya Thalib sebagai Ketua Komisi A. Sementara Drs H.A. Nusi sebagai Walikota. Sebelumnya, yang terjadi adalah HUT Kota Gorontalo diperingati dengan merujuk UU No. 29 Tahun 1959 tentang Kotapraja Dati II-Gorontalo.

 

Di masa Maharaja Botutihe, interaksi (ekonomi) global dan posisi Gorontalo di Sulawesi semakin tampak dan mempunyai reputasi yang meluas. Pengaruhnya bahkan sampai ke Teluk Tomini dan beberapa jaringan perdagangan Asia Tenggara. Tentu saja, maharaja ini pernah dipandang tidak loyal kepada VOC karena usaha-usaha dia memperkuat jejaring ekonomi kerajaannya, bahkan tercatat punya hubungan baik dengan orang-orang Mandar, Bugis dan beberapa kekuatan ekonomi lainnya (China, Arab, dst)  yang terkenal berpengaruh di utara Sulawesi. (***)

Komentar